Tuesday, August 19, 2014

Tiga Hari Untuk Selamanya: Hiking Perdana di Gunung Cikuray

Memandang galaksi bima sakti dengan mata kepala sendiri adalah obsesi saya terhadap alam.
Menikmati hangatnya sinar matahari yang perlahan beranjak dari tidurnya pada perspektif berbeda adalah impian saya tentang alam.

"Fik, liat sebelah kiri keren banget awannya." -Amel
"Menang banyak Fik pertama kali mucuk langsung Cikuray. Kalo udah bisa Cikuray, pasti Semeru dan gunung lainnya bisa." -Deswan
"Coba liat Fik, cie udah ngga pucet lagi. Pas awal pucet, pas udah susah malah kuat." -Vijay
"Hebat mbanya bisa sampe summit sebelum matahari terbit. Bonusnya pendaki itu bisa liat matahari bangun dari kasurnya, mba." -Kak Bote
.
.
.


  • Berminggu-minggu sebelum keberangkatan..

Setelah dibujuk-bujuk setengah paksa oleh kawan saya, Amel dan Deswan yang sudah biasa mendaki akhirnya saya membulatkan tekad. Semua ketakutan dan kekhawatiran berhasil saya bungkus dengan tekad dan keinginan besar untuk ikut hiking pertama kalinya dalam hidup saya. Seminggu sebelum pendakian saya dan Amel merencanakan untuk olahraga rutin di GBK, sayangnya saya hanya sanggup satu hari, itupun kebanyakan jalannya plus dengan kaki yang seperti biasa sakit-ngilu-kram sehari setelahnya saking jarang sekali aktivitas fisik. Selanjutnya saya hanya skippingan saja di rumah itupun tidak rutin saya lakukan. Tapi hari ke hari menuju pendakian justru banyak hal yang baru muncul ke permukaan, seperti kiriman foto track Cikuray yang luar biasa ganas di grup, teman-teman yang secara tiba-tiba bilang supaya jangan kapok dan menyesal setelahnya. Juga karena ini pendakian pertama saya yang rutinitas sehari-harinya hanya ngampus, naik ke lantai atas pun dengan lift, dan sudah seperti bertahun-tahun tidak olahraga. Tidak seperti Tiwi yang juga baru pertama kali hiking tetapi sesekali jogging di GBK bersama Amel. Mereka seperti mengkhawatirkan saya di momen pertama pendakian dalam hidup saya akan melalui track seganas Cikuray, ketika dengkul benar-benar bertemu dada. Saya sebetulnya sudah tahu separah apa track Cikuray dari berbagai blog yang saya baca, tapi melihat teman-teman menyampaikan hal-hal seperti itu tekad saya seakan diuji. Tapi pada akhirnya semua sudah saya pasrahkan, ini hanya tinggal beberapa jam menuju pendakian, saya tidak sendiri dan yang terpenting saya tidak punya tujuan yang jelek, Allah pasti memudahkan. Untuk teman-teman yang mungkin ingin mendaki gunung Cikuray tetapi belum punya pengalaman sama sekali dan kebetulan menemukan tulisan saya ini, jangan pernah takut untuk mencoba. Ini bukan tentang menaklukan gunung, tetapi tentang menaklukan diri kita. Kalau seseorang seperti saya saja bisa, kalian pasti bisa. Pasti.


  • Jumat, 15 Agustus 2014

Hari yang ditentukan tiba, saya bersama sembilan teman lainnya janjian di pintu tol Kebun Jeruk. Dibilang teman pun tidak juga. Karena diantara sembilan orang tersebut hanya empat orang yang saya kenal, Amel, Tiwi, Deswan, dan Bai. Sisanya adalah teman kerja dan teman semasa sekolahnya Deswan. Kami berangkat dari tol Kebun Jeruk sekitar pukul 7 malam karena sebagian besar dari tim Kebun Jeruk ini pekerja kantoran meskipun usia mereka justru satu tahun di bawah saya, Amel, Tiwi dan Bai. Tujuan pertama kami adalah terminal Kp. Rambutan untuk bertemu empat orang lainnya. Sampai di sana ternyata tim lainnya belum tiba, jadi kami memutuskan untuk shalat Isya terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Garut.


  • Sabtu, 16 Agustus 2014

Setelah 4-5 jam perjalanan, akhirnya sekitar pukul 2 dini hari kami sampai di SPBU Tanjung. Saya tidak tahu pasti kenapa tim kami memutuskan untuk berhenti di SPBU Tanjung, bukan terminal Guntur. Yang jelas, kami akan dijemput oleh mamang pick up yang sudah kami sewa di sini dan banyak sekali rombongan para pendaki yang transit di sini. SPBU Tanjung ini juga cukup mengakomodir dari mulai adanya masjid, wc umum, minimatket sampai warteg untuk sarapan. Baru sampai di SPBU ini badan saya sudah menggigil sekali ditambah semilir angin sukses membuat saya kedinginan. Ini baru di Tanjung, belum ada apa-apanya dibandingkan di puncak sana. Bersama rombongan lainnya kami menggelar matras di teras masjid dan tidur-tiduran, makan dan ngobrol-ngobrol sampai subuh. Ada kesempatan untuk melanjutkan tidur yang sempat terganggu di bus sebelumnya, tapi udara dingin membuat saya enggan memejamkan mata sedikit pun. Alhasil kami hanya ngobrol dan ngobrol, ngemil dan memutuskan untuk makan besar di warteg seberang karena kemungkinan setelah sampai di pos pemancar nanti kami langsung trekking. Di SPBU itu juga akhirnya tiga orang lainnya dari tim kami baru tiba karena ada kendala sebelumnya. Akhirnya tim kami lengkap, tujuh belas orang. Sedikit curhat tentang makan di warteg itu, saat itu saya makan nasi dengan lauk ati ampela dan tumis tahu, Tiwi dengan usus ayam dan tahu. Setelah kami selesai makan ternyata harga porsi untuk Tiwi hanya Rp 8.000 sedangkan saya Rp 15.000. Kagetnya lagi karena Bai makan dengan lauk ayam hanya kena Rp 13.000. Miris sebetulnya, tapi tak apalah nasi sudah menjadi bubur di lambung saya.

Ada satu hal mengesankan yang saya dapat di sana, saat kami tiduran sambil ngobrol di teras masjid, bintang berkelap-kelip di hadapan mata saya yang redup-redup terkena semilir angin. Tak banyak memang bintangnya, tapi juga tak banyak kesempatan seperti ini saya dapatkan di kota penuh polusi seperti di Jakarta. Doa saya pagi itu, semoga mata saya dapat bertemu bima sakti.

Udara mulai menghangat seiring bangunnya matahari dari selimutnya. Seusai shalat Subuh, mobil jemputan kami belum kunjung datang sedangkan rombongan lainnya sudah mulai beranjak dengan truk-truk kuning sewaannya. Sampai akhirnya kira-kira tersisa 2-3 rombongan yang belum berangkat dari SPBU. Mood sudah agak turun, terlebih karena takut tidak kedapatan lahan untuk mendirikan tenda kalau berangkat terlalu siang. Akhirnya kami memutuskan untuk berfoto-foto dengan background gunung Guntur yang terlihat sangat dekat dari SPBU.

gocapan dan para retjeh 





Setelah penantian panjang, akhirnya Mang Aep beserta mobil pick up yang kami sewa pun tiba. Berbeda dengan rombongan lainnya yang menggunakan truk, rombongan kami menggunakan pick up. Ternyata setelah kami tanyakan ke Mang Aep, rombongan dengan truk itu tujuannya gunung Guntur. Pantas saja, melihat track menuju pos pemancar sepertinya sulit untuk dilewati truk sebesar itu. Tapi ada saja mobil tronton polisi yang bisa naik hingga pos pemancar.


Matahari sudah menyapa tapi kami baru saja berangkat menuju pos pemancar

Perjalanan menuju pos pemancar tidak tanpa kendala, kami melewati kebun teh dan sesekali kanan dan kiri kami adalah jurang. Hati saya sedikit ketar-ketir ketakutan karena saya bersama dua orang teman wanita saya ini duduk di depan bersama Mang Aep dan posisi saya dipangku kedua teman saya ini. Di jalan yang sepertinya hanya muat satu mobil saja ini ada saja mobil dari arah berlawanan, dan di sinilah ketangguhan dan kesabaran Mang Aep diuji. Dan beberapa kali ada mobil lain yang selip sehingga Mang Aep harus beberapa kali turun untuk membantu. 





Di tengah-tengah perkebunan teh sebelum tiba di pos pemancar, kami harus membeli tiket terlebih dahulu. Sebetulnya ingin sekali foto-foto di tengah kebun teh tapi udaranya membuat saya enggan turun dari mobil. Alhasil hanya ini yang didapat.




  • Mereka bilang, saya hanya butuh terbiasa
Setelah tiba di pos pemancar, kami packing air minum, setiap orang diwajibkan membawa 3 botol besar air mineral karena sumber air sangat terbatas di sana hanya ada sampai pos 2 atau pos 3  itu pun hanya lewat pipa yang bocor. Untuk yang perempuan hanya membawa 2 botol besar tapi cukup menyulitkan saya yang tadinya carrier hanya berisi pakaian, sleeping bag dan matras yang menurut saya ringan tiba-tiba ditambah 2 botol air. Dan benar saja, baru sekitar 15 menitan mendaki, kepala saya tiba-tiba pusing dan rasanya seperti kekurangan oksigen untuk bernapas. Di 15 menit tersebut track yang tidak sulit sama sekali, kami hanya perlu menaiki tangga dari tanah yang di kanan kirinya kebun teh. Ini track yang masih awal sekali, tetapi kami harus terus berjalan naik seperti tanpa ada akhirnya dan tidak ada tempat landai. Saya berhenti sejenak mengatur napas, sama sekali tidak menyangka harus collapse di track yang belum ada apa-apanya. Karena saya lihat dua teman saya, Amel dan Tiwi tidak merasa kesulitan sedikitpun, mereka hebat sekali tapi kenapa saya tidak mampu? Sesekali saya teruskan berjalan sembari berpikir sepertinya saya benar-benar harus turun lagi, baru di sini saja saya sudah tidak sanggup. Pikiran saya sudah melayang tentang bagaimana saya harus menunggu di bawah sampai mereka turun dari summit, dimana saya harus menginap, dan pikiran putus asa semacamnya. Sampai di situ saya diberi madurasa untuk nambah energi. Setelah mencoba melanjutkan lagi kemudian saya diam sejenak mengontrol tubuh saya yang selalu ingin jatuh tiap kali berjalan, mata saya mulai berkunang-kunang dan sempoyongan dengan bawaan carrier yang cukup tinggi itu. Dari belakang saya terdengar suara "Kalo ngga kuat duduk dulu, Fik." Rupanya itu Vijay. Akhirnya bertemu tempat landai dan kami duduk sejenak, dibantu oleh Vijay, Deswan, Ka Agay dan Ka Medey yang saya pun belum kenal saat itu, saya bertukar tas dengan Ka Medey sehingga saya membawa daypacknya tanpa botol air minum. Setelahnya sakit kepala dan mata saya yang berkunang-kunang mulai stabil perlahan. Kata Ka Agay saya hanya kaget karena tadi juga belum sempat pemanasan dan nanti kesananya juga mulai terbiasa. Di situ saya sangat bersyukur karena mereka, orang-orang yang bahkan saat itu saya belum tahu nama mereka adalah ka Agay dan ka Medey tidak memilih meninggalkan saya, justru membantu saya. Kata orang, cobalah mendaki gunung maka kalian akan tahu sifat orang yang sebenarnya. 

Mulai memasuki kawasan vegetasi.
Saya dengan mereka sebetulnya berada di tempat yang sama beberapa meter setelah saya bertukar tas, tepat di depan kakinya Dimar (paling kanan) tapi saat itu saya terlalu putus asa untuk ikutan foto

Geser ke kanan sedikit dari foto di atas, hampir collapse

  • Ternyata benar, saya hanya butuh terbiasa
Setelah saya pulih, gantian Tiwi yang tiba-tiba pucat dan merasa pusing juga, alhasil kami berhenti sejenak memakaikan Tiwi koyo, minyak kayu putih dan sedikit makan cokelat, saya tahu persis bagaimana rasanya sepusing itu. Seusai membantu Tiwi, saya jadi merasa lebih baik, pusing sesegera mungkin hilang dan kembali semangat. Perjalanan menuju pos 2 rasanya jauh sekali, begitupun menuju pos 3. Terlebih track dari pos 2 menuju pos 3 adalah pos yang paling ganas. Benar sekali apa yang disebut-sebut blog orang lain, dengkul bertemu dada. Sepanjang perjalanan saya lebih banyak seperti beradegan panjat tebing, saling tarik menarik adalah hal yang harus dilakukan atau sesekali berpegangan pada akar-akar pohon yang besar dan menjalar. Di sinilah tantangan terbesar pendaki gunung Cikuray, tidak ada bonus sama sekali. Kalaupun ada, hanya sekitar lima langkah saja. Adegan panjat tebing ini terus kami lakukan sepanjang perjalanan sampai tiba di camp. Tapi justru di track menantang ini saya sudah tidak lagi pusing ataupun pucat, justru kami bisa sering sekali bercanda dan tertawa. Apalagi dengan tongkat kayu yang saya dan Tiwi pegang, kami seperti nenek-nenek yang sebentar-sebentar memberikan tongkat kami ke atas karena harus memanjat dan merangkak. 

Istirahat makan


  • Ini baru Indonesia
Kami berhenti sejenak untuk makan siang seadanya, hanya menyeduh susu dan makan cemilan-cemilan ala kadarnya. Beberapa dari kami, yang disebut-sebut sebagai tim retjeh berjalan duluan di depan untuk mengejar lapak tenda karena pendaki gunung Cikuray di hari tersebut ramai sekali mencapai seribu pendaki. Tidak berlama-lama karena semakin lama berdiam diri semakin dingin tubuh kami, maka kami melanjutkan pendakian. Ada pelajaran yang saya dapat lagi saat mendaki saat itu, saya benar-benar merasakan ini Indonesia. Indonesia yang katanya orangnya ramah-ramah tapi tidak saya temukan lagi di kota besar, saya akhirnya menemukan di tempat ini. Dimana ketika semua tenaga, pikiran, emosi, hati sudah terlalu lelah tapi saya selalu menemukan orang-orang yang menyempatkan diri untuk sekedar menyapa, menawarkan untuk makan, minum, bahkan menyemangati dan memotivasi kami di saat mereka saja mungkin sedang membutuhkan sokongan semangat. 

Beginilah kurang lebih track selama pendakian dan kebanyakan yang sempet foto-foto waktu trekking adalah tim retjeh.






Setelah 8 jam perjalanan akhirnya kami tiba di pos enam. Alhamdulillah kebagian lahan untuk tenda, walaupun sangat terbatas jumlah tenda yang bisa didirikan dan miring-miring karena lahan datar di Cikuray sangat minim. Tiba di pos enam, saya, Amel dan Tiwi langsung prepare untuk masak makan malam di depan tenda kami yang benar-benar di pinggir jurang. Dengan udara dingin yang begitu menusuk kami sedapat mungkin melakukan aktivitas agar tidak terus menerus kedinginan. Menu makan ala kadarnya kami malam itu adalah mi instan. Udara dingin bukan dapat diatasi dengan jaket tebal begitu saja rupanya, tapi juga rasa ingin buang air kecil semakin menjadi-jadi. Di sinilah lagi kepanikan saya, kanan kiri tenda pendaki lain, belakang jurang. Padat sekali, sampai akhirnya kak Bote berbaik hati mencarikan tempat untuk buang air kecil dan letaknya persis di tepi jurang. Kami harus turun sedikit ke bawah, kepeleset sedikit bisa langsung terperosok ke jurang. Untungnya saya membawa matras aluminium yang cukup besar sehingga bisa sekaligus menjadi bilik portable. 


  • Milky way?
Malam tiba, dan udara semakin dingin. Ini kali pertama saya tayamum di dalam tenda lengkap dengan shalat duduknya karena tidak ada lahan lagi untuk shalat di luar tenda. Satu tenda tim kami hanya berupa flying sheet yang berisi para laki-laki. Dan saya tidak sanggup membayangkan mereka harus tidur di tenda tersebut dengan udara sedingin ini. Jadilah Radju itu menumpang di tenda kami karena kekurangan tempat. Untung saja tenda kami masih muat untuk empat orang dan tinggi Radju kurang lebih sama dengan saya. 
"Itu liat deh ada milky way." Kata Radju. Saya senangnya bukan main dan segera keluar tenda. Tapi percuma, saat saya melihat ke langit, saya hanya melihat sedikit cahaya bintang dan bahkan tidak yakin itu milky way karena keadaan gunung Cikuray dengan kanopi tertutup di mana penuh pohon-pohon besar yang menghalangi. Akhirnya dengan keadaan berbaring miring karena lahannya yang miring, saya paksakan untuk tidur di pukul 8 malam walaupun susah sekali karena terbiasa tidur larut. 


  • Keluar dari comfort zone
Kami tidur dengan formasi Amel paling pinggir dekat jurang, saya, Tiwi, dan Radju di pinggir dekat pintu. Tapi pukul 10 malam saya terbangun karena Amel tiba-tiba menggigil dan Radju sesekali terbangun juga. Kejadian ini tidak hanya sekali terjadi, pukul 12 malam saya terbangun lagi. Rasanya sudah tidur lama sekali tapi malam belum juga habis. Amel kembali menggigil, rupanya posisi di pinggir itu sangat amat dingin, barang-barang yang diletakan di pinggir semuanya lembab seperti disimpan dalam lemari es. Begitu juga dengan posisi Radju. Kaki saya pun meski di posisi tengah dan terbungkus sleeping bag tetap saja sangat kedinginan. Saya akhirnya bertukar posisi dengan Amel. Di jam-jam tersebut suara gemuruh angin mulai terdengar, kami pikir hujan tapi tidak ada suara rintik-rintik di atas tenda. 

Menjelang pukul 2 pagi, saya masih sesekali terbangun karena suara gemuruh angin semakin kencang dan terdengar seperti suara rintik-rintik. Lebih-lebih dari pukul 12 lalu, gemuruh angin kali ini tidak berhenti sama sekali. Kali ini benar-benar hujan, pikir saya. Teman-teman satu tenda masih tertidur lelap dan saya merasa ketakutan sendiri. Posisi atap tenda kami mulai miring. Bayangan negatif mulai muncul dalam otak saya, bagaimana kalau tenda ini lepas dan kami terbawa angin jatuh ke jurang-jurang itu? Kalaupun saya harus keluar tenda ini saya harus kemana? Siapa tahu baru keluar satu langkah saya langsung ikut melayang. Tenda itu satu-satunya tempat yang aman dengan sejuta keresahan. Terlebih lagi rasa kecewa yang teramat sangat karena kemungkinan saat summit tidak ada awan-awan yang menanti, atau bahkan tidak ikut summit karena track pasti sangat amat licin. Semua rasa-rasa itu beradu jadi satu. Saya berada di ketinggian dua ribu sekian meter dari permukaan laut, tidur dengan alas miring dan bertepikan jurang, dan badai sedang menerjang tenda saya dengan segala kemungkinan dapat terjadi juga tidak ada tempat untuk berlari dan berlindung. Saya sudah keluar dari zona nyaman bahkan zona aman. Satu-satunya tempat berpegangan hanya Sang Pencipta yang jauh lebih besar dari badai yang sedang menerjang ini. Hanya mengingat Allah, hati menjadi tenang. Beberapa kali saya mencoba tidur lagi berharap malam segera habis, tapi sia-sia, saya selalu terbangun dan terbangun lagi. Saat segala keresahan yang sedang melanda pikiran saya, Amel ikut terbangun dan ikut resah dengan hujan di luar dan angin yang sangat kencang. Sampai satu per satu Tiwi dan Radju pun bangun. Tenda sebelah kami yang berisi kakak-kakak terus menyorot tenda kami dengan senter, kekhawatiran kami semakin menjadi. Kami pun akhirnya ikut menyadari posisi atap tenda kami sudah miring dan pasak di dekat kepala Radju sudah terangkat. Kami kemudian menyadari sepatu kami ada di luar dan kemungkinan basah meskipun sudah diikat plastik, atau mungkin sudah terbang bersama angin. Rupanya saat Radju akan mengamankan sepatu kami, tanah di luar tenda tidak basah yang artinya semalaman itu tidak hujan, melainkan hanya angin. Angin sedahsyat itu.

"Masih jam dua."
"Gue berasa tidur dua hari"
"Ngga pagi-pagi"

Akhirnya kami memutuskan untuk tidak tidur sampai summit nanti dan larut dalam cerita. Setidaknya, keresahan saya mulai berkurang, plus karena di luar tidak hujan. 



Di dalam tenda


  • Minggu, 17 Agustus 2014

Pukul 4 lewat akhirnya kami summit dengan badai angin yang dinginnya luar biasa seperti masuk dalam ruangan pendingin. Tanpa istirahat sama sekali kami akhirnya tiba di puncak sebelum matahari bangun. Di puncak dingin sejadi-jadinya hingga bibir dan tangan beku. Dan ramainya melebihi pasar malam. Upacara pun tidak bisa dilakukan, hanya ceremony seadanya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya menghadap matahari terbit.

17 Agustus saya kali ini berbeda, bukan upacara di lapangan luas lengkap dengan paskibraka dan paduan suara atau sekadar menonton upacara bendera di Istana Negara lewat televisi. Sekali lagi, saya keluar dari zona nyaman saya. Ini adalah momen bersejarah yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di puncak gunung, dengan track sedahsyat Cikuray, dan ini hadiahnya. Hadiah yang hanya bisa saya lihat dan nikmati dengan usaha dan kerja keras. 

Cikuray mengajarkan saya banyak hal, miniatur kehidupan dalam dua ribu delapan ratus dua puluh satu meter. Menunduk ketika naik dan tetap tegak ketika turun. "Fainna ma'al usri yusra. Inna ma'al usri yusra". Sesungguhnya setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Mengajarkan saya bahwa tidak ada yang sia-sia. Bahwa bukan gununglah yang kita taklukkan, tapi diri kita. Seberapa sulitpun ujian yang kita hadapi, akan ada pelajaran yang bisa dipetik dan hasil yang bisa dinikmati. Dari atas sana sungguh rasanya manusia terlalu kerdil untuk menyombongkan diri di hadapan Tuhan. Dan dunia terlalu luas untuk diam di satu tempat, maka berputarlah. 

Spoiler:
Sunrise at Peak of Mt. Cikuray 2.821mdpl



17 pendaki di 17 Agustus 2014! (y)
sayang sekali nggak bisa foto ber-17 saking ramenya

3 gotjapan dan 5 retjeh

Sama Amel yang maksa-maksa ikut ke Cikuray. Makasih lho ga nyesel



P.S. 
Bonus sarapan mewah lengkap ala-ala anak gunung dengan sayur asem + ikan asin + sambel kentang + nugget + sosis + sarden


Makasih buat semuanya yang sudah bersedia nunggu saya yang jalannya lama dan banyak berhentinya dan sudah sabar membantu dan menolong apapun dan terimakasih kelucuannya sampai-sampai saya banyak tertawa selama pendakian. Terima kasih Kak Bote, Kak Amad, Kak Agay, Kak Medey, Kak Pai, Kak Ubay, Kak Endo, Kak Odoy, Deswan, Vijay, Radju, Dimar, Dinar, Zaidi, Amel dan Tiwi. Kalian membuat hiking pertama saya sangat mengesankan. :)

No comments:

Post a Comment

what do you think?