Sunday, August 16, 2015

Akulah Si Buah yang Telah Ranum

Ah, rasanya udah lama banget nggak nulis tentang hal ini secara gamblang. Because I was never really sure before. Tapi, yang ini nyata. Ini nyata saya pendam dalam diam hingga berair mata. Saya nggak tau sih, kali ini benar atau nggak. Karena saya nggak pernah yakin dan tahu pasti kalau saya....jatuh cinta. Ah, rasanya sulit banget buat ngetik dua kata itu. Berkali-kali saya nolak itu, apalagi untuk bilang kalo saya bener-bener ngerasainnya. Bahkan sampai detik ini juga saya masih meragukan perasaan saya, jangan-jangan ini hanya rasa kagum biasa yang nggak pernah bisa saya artikan dengan jelas. Tapi kalau ini biasa kenapa rasanya tidak mau pergi, kenapa sampai berair mata?

Setahun sudah, iya setahun sudah semenjak saya mengenalnya. Setahun sudah saya menyimpan rasa yang nggak pernah bisa saya artikan dan selalu saya tolak. Saya hanya kagum. Begitu seterusnya saya selalu berpikir, dan rasa kagum itu ternyata belum pudar hingga detik ini. Bukan kagum fisiknya, sekali lagi saya bukan orang yang terfokus pada hal itu. Saya kagum dengan dirinya, dengan dia seutuhnya. Dia yang ramah, pintar, dan semua yang saya sukai juga dia sukai, hobinya adalah hobi saya juga. Baru kali ini saya bertemu dengan sosok sekomplit ini, sesama ini. Rasanya mungkin nggak akan habis pembicaraan kalau aja percakapan itu telah dimulai.

Lalu lalang kehadirannya tentu saya sudah biasa. Yang mungkin dari awal selalu membuat saya ge-er bukan kepalang, hingga akhirnya saya sadar begitulah dia...ke semua orang. Iya, semua orang. Rasanya aneh ketika kehadirannya membuat jantung saya berdegup lebih kencang. Meskipun hanya sekadar lewat tanpa mencoba menghampiri. Saya hanya bisa diam berharap, harapan yang seharusnya nggak boleh ada. Dan ketika beberapa kali harapan itu terbayar secara tiba-tiba, saya bahkan nggak bisa mendengar detak jantung saya sendiri. Terlalu bising euphoria dalam hati saya. Lalu setelahnya dia menghilang lagi. Menghilang dalam gegap gempitanya di ujung sana. Menjelajah bersama sang putik. Ya, sayalah si buah yang telah ranum, Tuan. Ini saya. Sayalah yang memendam serpihan serbuk sarimu diam-diam hingga ranum.

Rasa-rasanya saya nggak pernah sebodoh ini, mengaguminya begitu lama, mungkin ini yang pertama. Saya juga nggak pernah sebisu ini, menyimpannya dalam diam, yang mampu bicara hanya air mata saya. Bodoh bukan? Mana ada orang mencintai dengan tangisan? Saya nggak akan meminta kamu merasakan dinginnya tetesan air ini. Tapi bolehkah saya meminta satu hal? Tolong berhenti untuk bersikap seolah kamu adalah sosok yang harus saya kagumi. Tolong berhenti jadi orang yang begitu berkharisma.

Tuhan, maafin saya, saya hanya sudah nggak sanggup memendamnya sendiri.

No comments:

Post a Comment

what do you think?