Monday, January 13, 2014

Untitled

Aku tidak begitu paham atas dasar apa jari-jari ini mulai membuka lembaran maya dan memutuskan untuk menumpahkan segala kegundahan yang mengganggu pikiranku saat ini. Pukul satu dini hari sudah lebih dari seribu kali telah aku lewati dan aku memilih singgah sesaat di sini untuk sekedar merenungkan hal yang sebetulnya tidak ingin aku renungkan. Setengah jam yang lalu aku baru saja selesai membaca barisan kata yang awalnya tak ingin kutelusuri. Tapi mata ini terus bergerak hingga kata terakhir pada lembar itu. Ada hal yang cukup menyentil pikiranku, ini bukan mengenai inti dari apa yang aku baca. Bahkan boleh dibilang hal tersebut hanyalah sebagai pemanis. Pikiranku membawa aku menelusuri lorong waktu dan berhenti pada sore itu, kurang dari setahun yang lalu. Aku melihat seorang gadis menyanyikan lagu ulang tahun dengan senyum yang terlihat menutupi rasa gugupnya. Gadis itu adalah aku sepuluh bulan yang lalu. Seorang pria di sampingnya ikut bernyanyi dengan memegang sekotak kue berwarna biru lengkap dengan lilin berbentuk angka 17 yang menyala tanpa malu. Nyanyian sore itu berakhir dengan dipotongnya kue tersebut dan gadis yang dinyanyikan tadi membagikan potongan kue itu kepada orang-orang yang mengelilinginya. Aku melihat diriku tersenyum, tertawa, kemudian tersenyum lagi. Seperti orang bisu yang hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata semampunya. Seorang wanita paruh baya kembali ke ruang itu membawa sebuah teko berisi minuman, aku tidak terlalu menangkap warnanya yang jelas aku melihat orang-orang tersebut sangat menikmatinya. Wanita itu adalah yang biasa kusapa Ibu sejak kali pertama aku bertemu hingga detik aku menuliskan ini. Dengan senyum sumringahnya ia duduk kembali bersama kelima orang yang ada di ruangan tersebut seraya berkata, "Mama baru beli gelas nih, kan enak buat ngopi-ngopi. Pas banget lagi nih buat berlima, eh berenam."

Sepenggal sore itu mungkin tidak akan pernah aku hilangkan dari memori jangka panjangku. Karena di situ  aku diajarkan apa arti keluarga sebenarnya. Di sana, aku melihat betapa kebersamaan adalah sesuatu yang harus dimiliki setiap keluarga. Aku sering kali menjumpai keluarga itu sedang asik bercengkerama bersama, menunggu salah satu anggota keluarganya untuk sekadar mengunyah kudapan. Menahan rasa egoisnya untuk sekadar menikmati camilan yang terlihat menggoda bersama teh atau kopi hangat bersama-sama. Dan dia yang kusapa Ibu tak akan segan mengajakku bergabung, menyesap teh hangat buatannya dan mendengar celotehnya yang penuh aura positif. Setiap kali ada hal negatif yang terdengar dalam pembicaraan, semuanya justru seakan didaur ulang oleh pikirannya. Aku mungkin tak banyak bicara setiap kali berada di ruang-ruang dalam rumah itu, karena aku bukanlah orang yang mudah sekali beradaptasi terlebih kepada orang yang bukan sebayaku. Tapi dalam bisuku, aku meresapi setiap apa yang aku lihat hingga masuk dalam relung-relung hati. Dan segala yang sudah meresap di hati, akan sulit untuk kembali menguap. Di dalam sana, aku melihat bahwa harta yang paling berharga di rumah itu adalah kebersamaan. Suasana yang bahkan sulit aku temui di dalam rumahku sendiri. Mungkin saja yang sulit menguap itu adalah alasan mengapa aku sering kali merindukan suasana rumah itu, keluarga itu.

No comments:

Post a Comment

what do you think?