Saturday, August 3, 2013

Life's cruel

Hai. Halo. Hola. Rasanya udah berabad-abad lamanya nggak nyentuh ini blog. Iyasih beberapa hari lalu sempet ngepost soundcloud ngga jelas segala macem. Tapi yaaa, cuma intermezo aja. Belum siap aja buat kembali mengudara di blog yang penuh kerandoman ini. Tiap kali buka blog ini, selalu ada sesuatu. Sesuatu, iya sesuatu. Ya pokoknya sesuatu. Abaikan yang barusan.

Oke, jadi banyak banget hal yang terjadi selama blog ini aku tinggalin. Tentu aja, ups and downs pasti dialami oleh semua orang. Tapi, kalau terjatuh di lubang yang sama? Katanya hanya keledai yang bisa seperti itu, nyatanya, sosok makhluk yang diciptakan Tuhan dari tanah, yang punya akal pikiran, bernama manusia juga ngalamin jatuh di lubang yang sama. Oh, bahkan nih ya, sekarang ada lagi, jatuh di lubang yang dia buat sendiri! Mana? Katanya punya akal pikiran, piye toh, nduk. Yang barusan itu tentang siapa ya? Nggak usah jauh-jauh. Itu adalah aku sendiri. Nggak usah berbicara mengenai sebuah kehilangan yang lagi-lagi mampir. Toh, tiap detik di dunia ini selalu ada yang hilang. Tapi ini mengenai sebuah kehilangan yang seharusnya tidak perlu aku alami. Eh? Mungkin nggak juga. Pernah denger nggak kalau nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini? Yap, aku percaya 100% ngga ada yang namanya kebetulan. Bahkan sehelai daun yang gugurpun dikehendaki sama Yang Maha Kuasa. Yah walaupun dalam bahasa sehari-hari masih sering gunain kata "kebetulan". Kadang kupikir, semua ini mengenai aku yang dititipkan suatu hal oleh Tuhan, lalu aku yang lalai. Selalu dan selalu lalai. Terkadang juga bertanya, mengapa Tuhan begitu tega memberikan aku kesedihan? Bukannya Tuhan Maha Baik? Tetapi makin ke sini, aku berusaha semakin membuka mata. Berusaha husnuzon sama Allah. Sebetulnya, Allah yang membuka mataku, dengan cara-Nya.

Awal sekali aku habis-habisan menyalahkan diriku sendiri atas segala kelalaianku. Aku memaki diri sendiri, hari ke hari. Menggerutu mengapa bisa-bisanya bersikap begitu kekanakkan. Aku membenci diriku sendiri, minggu ke minggu. Sampai-sampai menulis sebuah postingan yang berisi kalimat kebencian pada diri sendiri. Aku hampir menyalahkan takdir, tapi kuputar agar kebencian itu mengarah pada diriku sendiri. Aku bahkan membandingkan diriku dengan kesempurnaan. Seseorang sebaik orang itu tidak akan mendapatkan orang seburuk aku. Aku merasa sangat tidak pantas mempertahankan sesuatu yang seharusnya tidak kupertahankan karena aku merasa terlalu lancang untuk meminta segalanya kembali. Fase selanjutnya aku mulai bangkit. Banyak hal yang terjadi, banyak hal yang menyadarkan bahwa aku tidak pantas merendahkan diri sendiri. Kemudian setiap kali kenangan menyeruak ke dalam kantung-kantung pikiran, aku merasa kenyataan adalah mimpi dan kenangan adalah kenyataan. Aku mulai mengingat kesungguhan pada mata orang itu, matanya berbicara. Lalu darahku seperti dialiri sebuah tekad baru, keyakinan bahwa ini bukan kenyataan. Maksudku, mungkin orang itu hanya ingin menguji aku, oh, mungkin dia ingin fokus pada apa yang sedang dia kerjakan hingga pada saatnya nanti, setelah segalanya telah diselesaikan dan kehidupannya membaik, dia akan kembali. Dia masih seperti orang yang sama saat terakhir kami bertemu, jadi keangkuhannya pada dunia maya hanyalah akting. Kupikir, orang itu sudah dewasa, sudahlah pasti dia akan menepati janji-janjinya dan usianya bukan lagi waktu untuk menjelajahi hati banyak perempuan. Dari situ aku memutuskan untuk kembali bangkit dan bertahan. Tetapi kenyataan terus menamparku seperti berseru membangunkanku dari mimpi dan hal-hal semu yang aku buat sendiri. Hal seperti ini bukan terjadi sekali, dua kali, atau tiga kali. Hitungannya sudah melebihi jumlah jari-jari di kedua tangan. Bahkan, doa-doa di setiap shalatku selalu berganti seiring naik dan turunnya kondisi dalam jiwaku. Ah, terkadang juga merasa mempermainkan doa-doa ini. Kadang juga merasa dipermainkan oleh keadaan. Di saat selangkah mundur, ada hal-hal yang menciptakan tekad-tekad baru. Sebetulnya, bukan hal-hal itu yang menciptakan, mereka hanya terjadi begitu saja, semisal banyak orang yang secara random bilang "Hey you looked good together, why you...ah", "padahal gue pikir di antara kita, kalian yang paling dewasa", "jangan dihapus foto-fotonya, lucuk tau kalian", atau music player yang karena angin apa tiba-tiba keputer VN yang sudah lama sekali, juga pertanyaan dari keluarga dan banyak hal-hal lain yang wajar tercipta tetapi selalu kubawa serta di pikiran untuk menciptakan hal-hal semu yang bisa jadi tidak akan terjadi. Kalau sedang ada di masa-masa seperti itu, aku justru sengaja mendengarkan lagu-lagu yang mendukung suasana. Meretweet tweet-tweet galau yang sesuai dengan perasaanku saat itu. Sangat menyedihkan. Hal-hal seperti itu terus terjadi berulang-ulang sampai tibalah pada hari yang mungkin tidak akan aku lupakan setelahnya.

Hari itu adalah hari bahagia. Bukan bahagia karena aku menikah, atau hal-hal kompleks yang membahagiakan lainnya. Ini sederhana. Sangat sederhana. Sahabat itu kembali. Aku pernah bilang, aku sudah nggak yakin apa makna sahabat sebenarnya. Tapi, orang ini sudah kukenal sejak lama, bukan hanya kukenal tetapi kami sangat dekat. Sudah banyak sekali ups and downs yang kami alami, ini bukan masalah pertama bagi kami, tapi sudah yang kesekian. Aku tidak ingin lagi-lagi mengaggungkan apa itu sahabat dengan deskripsi bagai malaikat yang paling sempurna mengerti. Aku hanya tidak tahu harus menyebutnya apa selain dengan kata ini; sahabat. Iya, yang kuceritakan pada postingan sebelumnya tentang keluhanku pada masalah yang ada pada semua aspek. Iya, dia telah kembali. Tuhan mendengar doa kami. Bahagia itu sederhana, bukan? Ada banyak kebahagiaan yang terjadi di hari itu. Ada cerita yang akhirnya terungkap. Aku sangat bahagia. Sangat. Tetapi di akhir, ada kisah yang begitu pahit yang tidak ingin aku ceritakan secara detail di sini. Tidak ada setetespun air mata yang menetes detik itu. Tidak ada. Aku bahkan benar-benar kehilangan akalku untuk berpikir. Ini nyata, kenyataan. Kenyataan. Aku sempat tidak ingin percaya, karena...ya nggak mungkin. Nggak mungkin. Tapi ini nyata, mana mungkin orang yang sudah kukenal baik sejak lama berani memanipulasi hal semacam ini. Kalaupun iya, apa tujuannya? Dan karena orang selanjutnya yang mengatakan ini juga orang yang tidak mungkin berbohong mengenai hal-hal semacam ini. Semua yang kudengar barusan itu benar-benar di luar logika berpikirku. Gila. Hanya satu kata itu yang terpikir. Iya, gila, ini gila. Apa hidup sedang mengajarkan aku untuk tidak pernah percaya pada satupun orang di dunia ini? Munafik. Kata kedua yang terpikir. Kemudian pada tahap selanjutnya aku mulai memaki diriku lagi, bisa-bisanya terjatuh di lubang yang sama. Lagi dan lagi. Dan bodohnya lagi aku sempat memaki, membenci dan menyalahkan diriku habis-habisan. Aku berpikir bahwa aku adalah satu-satunya orang yang salah dan menyebabkan segalanya berakhir. Itu bodoh. Hal terbodoh. Jujur saja, jauh sebelum hal itu terjadi, aku sempat membuka salah satu akun milik orang itu dengan password yang kuhafal. Lancang memang, saat itu aku hanya ingin tahu apa dia sudah benar-benar berubah atau hanya sebatas menguji. Tapi hal-hal yang kudapatkan tidak searah dengan harapan yang selalu kugenggam. Dan hal tersebut kini mendukung penyataan yang baru saja kudengar malam itu. Lalu pertanyaan orang itu saat malam di mana perpisahan itu terjadi, dan pernyataan seseorang yang berkaitan. Ah, seperti teka-teki yang terus menjadi misteri, satu per satu semuanya saling terkait kini. Ah, Fika. why again?

Ah bodohnya itu lho. Keterlaluan.

Aku pernah bertekad untuk tidak menghapus foto-foto masa lalu itu entah sampai kapan. Malah pernah berniat untuk tidak akan. Tapi tamparan itu terlalu keras hingga aku benar-benar bangun dari mimpi, berani menghapus foto-foto, menghapus pesan yang pernah sengaja aku kunci agar tidak bisa terhapus, menghapus kontak, me-mute account twitternya, menghapus screen capture percakapan kami, dan lainnya. Tuhan bukan salah menggariskan takdir, aku yang salah memahami makna takdir-Nya. Harus ada yang namanya akhir karena memang sudah berakhir masanya. Aku pernah dipertemukan dengannya, tetapi ditakdirkan untuk berpisah bukan karena hidupku sedang dipermainkan oleh Tuhan. Pertemuan itu agar aku belajar. Perpisahan itu agar aku tahu dia bukan orang yang baik bagiku. Aku berhenti memaksakan semuanya untuk kembali lagi. Meski setiap kali teringat suatu hal, selalu ada kemarahan yang membuatku ingin merebut segalanya kembali. Aku berhenti memaksa Tuhan melalui doa-doaku. Aku berhenti meminta agar orang itu kembali menjadi orang yang kukenal. Sebelumnya, kukira dengan berpikir bahwa dia baik, dia akan kembali, dia sudah dewasa, dia sudah berjanji, dan semacam itu adalah bentuk pikiran positifku. Tapi, tamparan itu menarikku menoleh pada Tuhan. Pikiran positif itu seharusnya menuju pada Tuhan, pada kehendak Tuhan. Percaya bahwa Tuhan melakukan semua ini karena sebuah maksud. Percaya bahwa Tuhan memisahkan aku dan orang itu karena dia bukanlah yang baik untukku. Percaya bahwa Tuhan tengah menyadarkan aku agar tidak bertindak hal-hal bodoh yang menyesatkan lagi.

Melipir sedikit menuju percakapan dengan seorang teman beberapa hari yang lalu. Aku menjawab pertanyaan teman itu dengan sangat, sangat ringan, tanpa beban. Aku cuma lagi berusah positive thinking. Aku sampe unfoll akun-akun galau karena sumpah deh, itu racun banget. Sekarang akun twitter udah lumayan bersih dari ngetweet-ngetweet galau. Kalau lagi bicara sama orang kadang-kadang seperti ikhlas banget sama semua yang udah terjadi ini. Setiap ada yang curhat, setiap ada yang cerita, aku suka ngutip kata-kata sama sikap yang ada di orang itu yang bisa diambil pelajarannya. Tapi sebetulnya nggak ikhlas-ikhlas sampe sekarang. Gimana ya, ikhlas tuh susah. Kalo udah ikhlas sih udah nggak ngungkit-ngungkit di pikiran. Ngutip kata-kata orang itu seakan-akan nama dia harum banget buat aku dan selamanya akan aku kenang yang baik-baiknya aja. Hanya seakan-akan. Padahal hal-hal yang nampar-nampar itu ga akan hilang dengan mudah. Itu cuma sebagai usaha-usaha aku untuk positive thinking sama Allah. Kalau lagi masa-masa down sih mikirnya emangnya orang bisa selupa itu ya sama orang yang pernah deket banget. Nggak mungkin lah. Dia kan sudah dewasa, ada suatu ketika kali saat sesuatu bisa nyadarin tentang sebuah komitmen yang dulu. Dan aku berdoa supaya dia disadarkan. Itu terdengar seperti pikiran-pikiran positif. Tapi, mikir kayak gitu justru bikin aku ngedown dan berharap, berangan sesuatu yang nggak pasti. Sedangkan, dengan berpikir kalau Tuhan udah nunjukin sesuatu yang nggak pantas aku pertahankan seorang diri, dan hal yang membuat aku sudah nggak respect lagi itulah yang ngebangkitin aku. Ngebangunin aku kalau ada hal-hal yang lebih baik lagi setelah ujian sekaligus hukuman ini berakhir.

Kenyataan itu nggak serta merta ngebuat aku ikhlas dan bener-bener lupa. Tapi itu kebangkitan yang paling dahsyat dalam hidup aku. Aku nggak pernah sepositif itu dalam berpikir, nggak pernah sekuat itu sebelumnya. Sampe berani ngehapus kenangan berupa foto dan lainnya sampe ngeunfoll akun-akun yang menurut aku tweetsnya banyak menggambarkan perasaan aku banget. Oh iya, postingan sebelumnya aku cerita soal temen yang pernah berdoa aneh-aneh buat diamnesiakan, terus dikabulin. Waktu awal, aku nggak pengen berdoa semacam itu, karena sampe kapan juga aku nggak mau ngelupain, aku nggak mau dia hilang, aku masih kekeuh minta semuanya balik lagi. Tapi setelah kebangkitan itu, aku berani meminta kalau dia bukan bahagiaku, jangan biarkan aku jatuh bangun untuk mempertahankannya dan kalau dia tidak akan kembali, tolong jauhkan dia dari hidup dan pikiranku. Aku lelah dengan pikiran yang disinggahi berkali-kali dan membuat aku jatuh lagi. Tidak lama setelahnya, orang itu meninggalkan dunia maya. Dia sudah benar-benar hilang dari hidupku. Bahkan, aku tidak punya kontaknya. Tidak ada lagi tweets dan updates yang sengaja kucari di saat senggang. Dia benar-benar hilang. Apa ini artinya dia memang tidak akan kembali, Tuhan? Entahlah. Aku percaya takdir Tuhan yang terbaik. Sempat menyesal, tetapi ini menggiringku pada kepercayaan bahwa jika dia kembali, maka rencana Tuhan adalah agar kami dapat saling membimbing dalam kebaikan menuju Tuhan. Tetapi jika tidak akan kembali, maka dia bukan orang yang baik untukku, yang telah menjauhkan aku dari Tuhan.

Kemudian berlanjut pada obrolan dengan teman yang lain yang menceritakan kisahnya kepadaku. Lagi-lagi kukutip ini, "Kalau hubungan ini bukan hanya milik kamu. Tapi milik kita". Obrolan dengan teman ini membuatku jadi teringat saat aku menangis hingga mataku membengkak, satu tweet muncul di tab mentionku. Dia. Dengan ringannya mengajakku pergi. Ajaibnya, satu tweet itu mengubah moodku 180 derajat. Kata temanku, "itu sweet tapi nyebelin, tapi ya emang harusnya gitu kaya ga ada apa-apa aja". Aku tersenyum. Ya, itu dia. Tapi kemudian teman itu membuyarkan senyumanku, katanya jangan mudah tenggelam lagi. Benar juga. Tapi aku belajar banyak hal. Dan teman itu mengiyakan, "Keliatan kok, lo keliatan dituntun banget sama dia. Dia pasti kehilangan lo. Gimanapun, lo orang yang pernah ada di hidup dia, deket dan saling berbagi. Ada ruangannya, Fik. Kenangan.". Oh ya? Kalau orang lain menyadarinya, kenapa terlihat seperti di dunia ini hanya aku dan dia yang tidak pernah sadar? Aku memang tidak pernah mudah beradaptasi dengan pelajaran hidup, pun dengan pelajaran darinya. Masalah hidup, aku tidak pernah bisa belajar dengan instan. Sudahlah, tertuntun atau tidaknya aku sekarang, hal-hal yang kuceritakan di atas hanya lembaran yang pelan-pelan aku tinggalkan. Toh, hanya berusaha menyambung silaturrahim saja tidak direspon dengan baik. Mungkin Tuhan benar-benar tengah menjalankan kehendak-Nya. Dan setelah semuanya, aku tidak salah dia memang orang yang baik. Sangat baik. Lembut. Penyabar. Penyayang. Orang yang baik. Tapi bukan orang yang baik untukku di saat ini.

No comments:

Post a Comment

what do you think?