Kudengar orang-orang meneriakkan pelangi, mereka baru saja melihatnya, mengagumi sosoknya juga penciptanya. Aku berkali-kali mengedipkan mataku, menoleh sana-sini, tapi tak kutemukan sosok yang selalu dinantikan orang banyak. Orang bilang, akan ada pelangi setelah hujan. Mengapa yang lain dapat melihatnya, sedangkan aku tidak? Apa Tuhan belum mengizinkan aku untuk menemuinya? Apa aku tak pantas turut tersenyum kali ini? Tetapi seseorang pernah mengatakan padaku, "Tersenyumlah walau itu hanya pura-pura, agar orang umum tahu, kamu tetap bahagia, meski kamu pun Tuhan yang tahu lukanya.". Aku sudah hampir hafal bagaimana caranya berpura-pura bahagia, berpura-pura tersenyum. Entah sudah berapa topeng tersenyum yang sudah kugunakan. Maafkan aku Tuhan, menjadi begitu munafik. Aku hanya mencoba menikmati luka. Aku berucap selayaknya aku sudah terbiasa, seakan-akan aku biasa tertawa di atas lukaku sendiri. Inginku hanya agar orang lain tak terlalu banyak melihat tetes air mata ini. Sudah terlalu sulit mendeskripsikan rasa sakit yang hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku nyaris berdoa agar Tuhan mematikan rasa-yang-entah-bernama-apa ini, namun seseorang itu lagi-lagi memintaku untuk tak pernah berdoa di luar yang seharusnya. Ia pernah meminta agar tak bisa menangis lagi, hingga suatu hari hatinya perih dan tak bisa menangis sama sekali. Aku tahu rasa sakit yang akhirnya berkali lipat itu, aku pernah merasakannya. Ia juga pernah meminta agar diamnesiakan segala hal tentang seseorang. Dan suatu haripun ketika ia rindu dengan orang tersebut, ia sama sekali tak bisa mengingat kenangan masa lalunya. Bulu romaku merinding seketika, membayangkan aku yang akan mati rasa untuk kesekian kalinya. Tuhan memang benar adil, apa yang kamu lakukan, maka itu yang kamu dapat. Aku ada pada titik bawah roda kehidupan, sebab aku pernah membuat orang lain ada pada titik ini. Tetapi sekarang, aku hanya ingin menunggu dan bersabar sambil meniti roda kehidupan. Aku tak tahu akan sampai kapan, atau akan selamanya menunggu? Lagi-lagi aku merinding membayangkannya. Sudahlah, aku tak perlu berkata untuk menunggu, karena esensi menunggu sama dengan maaf, tak terletak pada ucapan, melainkan makna.
Senja memang nyata indahnya, tapi mengapa hanya sesaat? Mengapa ia tak seperti matahari yang menemani siangku, dan bulan yang menemani mimpiku? Bersyukurlah, setidaknya langit sore ini lebih baik.
No comments:
Post a Comment
what do you think?