Thursday, October 25, 2012

Lihatlah Lebih Dekat, dan Kau Akan Mengerti

Sebetulnya, nggak ada lho yang namanya kebetulan. Memang ada beberapa orang yang percaya dengan yang namanya kebetulan, tapi tidak dengan saya. Bagi saya kebetulan itu nggak ada. Semua sudah digariskan oleh Tuhan. Bahkan, daun yang gugur pun sudah ditakdirkan Tuhan untuk gugur. Namun ada satu hal yang perlu kita ingat, bahwa ada takdir yang dapat kita rubah, ada pula yang tidak. Ketika kamu merindukan seseorang, semenit kemudian nama yang muncul pada layar ponselmu adalah orang yang kamu rindukan, apakah itu kebetulan? Tidak. Bagi saya, lewat itulah Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.

Juga saat impian yang saya nanti-nanti, hidup dalam kenyataan. Saya begitu memimpikan untuk menjadi seorang arsitek. Bukan, bukan untuk menata hatimu, tapi untuk menata rumah masa depan kita. Oke, cukup. Saya betul-betul menginginkan profesi itu, yang berputar-putar di otak saya saat memikirkan masa depan hanya kata itu, aristek. Tulisan itu ada di mana-mana, binder saya dipenuhi oleh kata-kata penyemangat, oleh dua kata sakral yang disebut "teknik arsitektur", oleh segala impian-impian saya yang hanya tertuang dalam berlembar-lembar kertas. Namun, ada satu yang terselip di antara bau-bau arsitektur, yaitu ilmu gizi. Sempat terlintas di kepala saya, gizi sepertinya cukup menarik. Lalu, mulai merambat pada ilmu yang lebih luas lagi, kesehatan masyarakat. Apa yang ada di kepala saya, impian saya sejak kecil adalah menjadi seorang perancang. Bagaimana mungkin terselip satu lingkup yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya, kesehatan. Meski saya dulu pernah bercita-cita menjadi seorang dokter, saya rasa itu hanya fenomena ikut-ikutan yang dialami setiap anak. Namun setelahnya saya tidak pernah berpikir kembali untuk menjadi dokter. 

Lalu ada apa dengan gizi dan kesehatan masyarakat? Entah mengapa yang terpikir oleh saya adalah mengenai tingkat kesulitan yang akan saya alami. Saat itu saya berpikir tingkat kesulitan akan sangat minim di jurusan tersebut. Lalu saya mulai membulatkan tekad ke arah sana. Semua yang saya tuju tak lain adalah Universitas Indonesia. Tulisan "We are the next yellow jacket. UI 2012" masih terpampang jelas di sudut kamar saya, stikernya pun masih menempel, bahkan sampai saat ini saya masih menjadi pengikut akun-akun yang berhubungan dengan universitas tersebut. 

Namun, pada saat hari pendaftaran tiba, saya justru memilih Arsitektur UI dan Gizi IPB. Saya pikir saya terlalu gegabah untuk memilih UI pada kedua pilihan tersebut. Berhubung di IPB tidak ada jurusan mengenai kesehatan masyarakat, maka saya memutuskan untuk kembali pada gizi. Saya sudah memiliki alasan untuk keduanya, yang pertama, saya ingin menjadi seorang arsitek, seorang perancang yang karyanya dinikmati orang lain, dikagumi, saya ingin merancang rumah saya sedemikian rupa, dan saya senang melihat rancangan-rancangan para arsitek yang luar biasa. Sedangkan untuk yang satunya lagi, saya ingin menjadi seorang ahli gizi, bermula dari keprihatinan saya pada anak-anak Indonesia. Sebetulnya Indonesia punya iklim yang bagus untuk memroduksi banyak sekali jenis pangan, tetapi tidak tercermin pada tingkat kesehatan anak-anak Indonesia. Saya prihatin pada anak-anak yang seharusnya menggapai cita-citanya dengan keadaan yang nyaman, tetapi keadaan mereka tak mendukung. Tubuh mereka lemas, perut mereka membesar. Ada satu ketakutan yang muncul dalam benak saya, apakah Indonesia akan menjadi Ethiopia yang selanjutnya? Dari situ hati saya mulai tergerak. Banyak hal yang menginspirasi saya hingga saya sepakat pada pilihan saya. Hobi menonton hal-hal berbau kekoreaan juga menjadi salah satu inspirasi saya. Saat itu saya menonton liputan salah satu bintang Korea yang berkunjung ke Afrika. Kondisi di sana sangat memrihatinkan, wajah anak-anak di sana dihinggapi lalat, saya risih sekali melihatnya, tapi sepertinya lalat-lalat itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Meski diusir berkali-kali, lalat-lalat itu kembali hinggap di wajah mereka. Jujur, sampai saat ini saya belum mengetahui penyakit yang diidap anak-anak tersebut. Hal-hal yang terlihat kecil seperti itupun bisa menjadi inspirasi kita, menggerakkan hati nurani kita. Ya, saya ingin bergabung dengan UNICEF, organisasi dunia yang menangani segala hal tentang anak, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lainnya. Suatu saat, jika saya benar menjadi ahli gizi, saya ingin mengikuti sebuah misi kemanusiaan. Di Indonesia, Afrika, maupun negara lainnya. 

Takdir Tuhan menghendaki saya untuk ada di jurusan ini sekarang, jurusan gizi. Sampai beberapa hari yang lalu saya masih belum bisa menerima kenyataan dengan baik. Saya masih ingin memaksakan kehendak saya, saya masih ingin berusaha, menggapai mimpi untuk menjadi seorang arsitek. Kata orang, ketika kamu berhenti berusaha, maka sebetulnya saat itu ada kesempatan kamu untuk menang. Memang betul, siapa tahu ketika saya coba sekali lagi, Tuhan mengizinkan saya untuk berada di tempat itu. Namun, kemudian saya menyadari satu hal. Saya teringat ketika saya berhasil lulus masuk ke jurusan gizi, salah seorang teman saya berkata, "Cie selamat ya, asik banget sih beneran dapet gizi, yang lo mau.". Saat itu saya tidak begitu memaknai kata-kata orang tersebut. Di dalam pikiran saya, masih banyak kata 'arsitektur' yang melayang-layang. Bahwa saya harus lolos ke sana. Bahwa saya harus ada di universitas itu. Saya punya semangat yang menggebu-gebu, tetapi dengan usaha yang tidak begitu maksimal di hari-hari sebelumnya. Saya akhirnya tersadar akan makna kalimat tersebut. Wake up, Fika! Your way is one step closer! Kalau saya selalu iri dengan orang-orang yang dapat apa yang mereka mau, bisa kuliah di jurusan yang mereka mau, apa bedanya dengan saya? Bukankah gizi juga tujuan saya? Bukankah saya juga pernah menggoreskan sebuah tulisan yang akan menjadi nyata? Nur Fikrianti, S.Gz. Apa saya lupa begitu saja? Mungkin tulisan saya mengenai arsitektur tidak terwujud saat ini, tapi mengapa saya menutup mata? Tulisan saya mengenai gelar sarjana gizi yang akan saya sandang itu kini semakin mendekati kenyataan. Apa yang saya tulis juga akan jadi nyata, bukan? Banyak hal yang saya tulis, banyak hal yang saya impikan, tetapi Tuhan pilihkan satu yang terbaik. Inilah saya, mahasiswi jurusan gizi. Jawaban dari segala pertanyaan saya adalah saya belum membuka mata. Kalau dipikir-pikir, impian saya di bidang gizi dan kesehatan jauh lebih mulia dibanding dengan dunia rancang-merancang. Tuhan seakan menagih kata-kata saya, sebuah harapan untuk memperbaiki kualitas hidup hamba-Nya. 

Satu impianmu hampir terwujud, Fika. Apa yang kau tulis dalam anganmu mulai menjadi nyata. Lalu apalagi yang kau tunggu selain bersyukur?

Saya selalu kagum dengan Tuhan. Segala sesuatu telah dikemas secara apik, bahkan hingga detail terkecil sekalipun. Segala yang terlihat sederhana punya sesuatu yang menakjubkan di dalamnya. Hanya saja manusia kurang bersyukur. Manusia hanya butuh membuka mata untuk menyadari indahnya rencana Tuhan. Lihatlah lebih dekat, maka kau akan mengerti.


Dengan mengucap subhanallah,
F


♡✿♡

No comments:

Post a Comment

what do you think?