Tuesday, May 19, 2015

Miniatur Kehidupan dalam Surga di 2821Mdpl

Memandang galaksi bima sakti dengan mata kepala sendiri adalah obsesi saya terhadap alam.
Menikmati hangatnya sinar matahari yang perlahan beranjak dari tidurnya dari dekat adalah impian saya tentang alam.
“Bonusnya pendaki itu bisa liat matahari bangun dari kasurnya, mba." -Kak Bote, 2014.


Ini adalah kisah tentang pencarian dan pencapaian “tertinggi” demi seteguk Paradays dari arakan awan, dari sekumpulan bintang bernama Bima Sakti. Ini adalah kisah tentang perjuangan yang teramat luar biasa menaklukkan hati, jiwa, dan raga lebih dari apapun demi mencapai "surga". Surga sesungguhnya ada di atas langit. Surga yang membutuhkan banyak perjuangan dan kebajikan untuk mencapainya. 


.
.
.
.
.
Jum’at, 15 Agustus 2015
Empat belas raga manusia beranjak dari terminal Kampung Rambutan dengan wajah yang tidak jelas rautnya. Ya, karena waktu itu hari sudah malam. Ada rasa bahagia bercampur khawatir yang sulit saya gambarkan lewat raut wajah saat itu. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama dalam hidup saya mencoba untuk mendaki gunung. Entah ini konyol atau tidak, tapi demi melihat wujud Bima Sakti. Tujuan kami adalah Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Gunung yang dikenal memiliki trek yang tidak biasa dan terjal tanpa lahan datar. Bagaimanapun beberapa orang sempat meragukan saya yang belum pernah sama sekali mendaki akan mampu sampai pada puncak gunung tersebut. Tapi saya sudah membulatkan tekad, lebih bulat dari bentuk bumi yang bahkan tidak benar-benar bulat. Kesempatan ini tidak boleh saya sia-siakan seperti kesempatan mendaki Mahameru yang saya lewatkan karena terganjal izin orang tua. Tanpa Ranukumbolo saya tetap harus bisa melihat sang Bima Sakti.

Bus melaju dengan kepadatan penumpang yang tidak dapat saya maklumi. Dengan tumpukan carrier di bagian belakang bus, saya yakin tujuan mereka di antaranya adalah Papandayan, Guntur, dan…. Mungkin Cikuray? Untuk yang satu ini saya belum terlalu yakin. Menurut kawan mendaki saya belum banyak orang yang mau mendaki Cikuray karena lahannya yang sempit dan terlalu terjal untuk membangun tenda. Saya pun masih sangat asing mendengar nama gunung tersebut.


Gunung Cikuray dari kejauhan
sumber: commons.wikimedia.org
Sabtu, 16 Agustus 2015
Sekitar 4-5 jam saya habiskan dalam perjalanan menuju Garut. Sekitar pukul dua dini hari saya dan kawan-kawan tiba di SPBU Tanjung, tempat kami akan dijemput oleh mobil pick up. Di SPBU Tanjung ini tersedia fasilitas yang menurut saya cukup lengkap dari mulai adanya masjid, wc umum, minimarket sampai warteg untuk sarapan. Baru sampai di SPBU ini badan saya sudah menggigil sekali ditambah semilir angin sukses membuat saya kedinginan. Sesekali suara-suara menggaung di telinga saya. Ini baru di Tanjung, belum ada apa-apanya dibandingkan di puncak sana. 

Bersama rombongan lainnya kami menggelar matras di teras masjid dan merebahkan badan, makan dan bercengkerama sampai subuh. Ada kesempatan untuk melanjutkan tidur yang sempat terganggu di bus sebelumnya, tapi udara dingin membuat saya enggan memejamkan mata sedikitpun. 
Ada satu hal yang menghangatkan hati saya dalam sekejap saat saya merebahkan badan. Bintang berkelap-kelip di hadapan mata saya yang redup-redup terkena semilir angin. Tak banyak memang bintangnya, tapi juga tak banyak kesempatan seperti ini saya dapatkan di kota penuh polusi seperti di Jakarta. Doa saya pagi itu, semoga mata saya dapat bertautan dengan lautan awan dan sang Bima Sakti. Saya terus memandangi langit syahdu itu hingga udara mulai menghangat seiring bangunnya matahari dari selimut.
 
In frame: Tiwi, Fika, Amel, Bai, Deswan, Dimar, Radju, Zaidi
Matahari semakin meninggi ketika mobil pick up kami baru saja menjemput. Perjalanan menuju pos pemancar tidak tanpa kendala, kami melewati kebun teh dan sesekali kanan dan kiri kami adalah jurang. Mang Aep, supir pick up kami hanyalah satu dari puluhan warga setempat yang mampu menaklukkan medan menuju pos pemancar ini. Di jalan yang sepertinya hanya muat satu mobil ini ada saja mobil dari arah berlawanan, dan di sinilah ketangguhan dan kesabaran Mang Aep diuji. Bahkan beberapa kali ada mobil lain yang selip sehingga Mang Aep harus beberapa kali turun untuk membantu. 


Pos pemancar
Photo by: @dimartana


Mereka bilang saya hanya butuh terbiasa…
Pendakian belum dimulai, tapi jantung saya sudah berdegup kencang ketika satu persatu botol air mineral ukuran besar dimasukkan dalam carrier saya. Selain treknya yang hanya diisi oleh tanjakan, Cikuray juga tidak menyediakan banyak sumber air di atas sana. Sehingga mau tidak mau saya harus membawa dua botol air mineral besar dalam carrier saya yang juga berisi barang pribadi. Saya begitu percaya diri ketika badan saya berdiri tegak menggunakan carrier tersebut dan seketika saya merasa mampu membawanya sampai puncak. Namun, kenyataan menolaknya mentah-mentah. Rupanya perjalanan dari awal justru mematahkan semangat saya. Undakan tangga yang terbuat dari tanah dan tanpa henti itu membuat saya kehabisan oksigen dan  membuat wajah saya pucat pasi. Baru saja menit kelima belas yang saya habiskan, badan saya sudah menjatuhkan diri untuk duduk. Kepala saya terasa sakit, sedetik saya tidak menguasai diri saya maka saya akan jatuh pingsan. Saya terus menguatkan diri bahwa saya bisa, saya pasti bisa. Kala itu suara setan terus berdengung mengatakan bahwa saya tidak pantas ada di atas sana. Katanya, “dari ratusan bahkan ribuan orang yang mendaki saat itu hanya kamu yang jatuh pada menit kelima belas. Bahkan kawanmu yang juga pertama kali mendaki begitu hebatnya sudah melampauimu. Sudah saya bilang sedari awal keputusanmu mendaki itu bukan keputusan cerdas. Lantas, sekarang kamu hanya bisa merepotkan mereka yang harus menunggu kamu bangkit. Pulanglah.” Suara setan itu saya turuti. Detik itu bahkan saya sudah memikirkan di mana saya akan menginap untuk menunggu mereka turun.


Trek awal. In frame: @radjualfansyah
Photo by: @dimartana

Suara itu buyar ketika beberapa dari kawan saya berdiri di depan saya meyakinkan bahwa saya bisa. Menenangkan saya untuk tidak khawatir dan menawarkan untuk bertukar carrier dengan daypack serta memberikan madu untuk meningkatkan gula darah saya. Mengingatkan saya untuk beristirahat ketika tubuh saya membutuhkannya. Saya mulai bangkit dan terus meyakinkan diri bahwa saya bisa, dan ketika yakin saya pasti bisa. Ini adalah urusan menaklukkan diri saya, saya yakin Tuhan tidak pernah tidur. Maka sedetik kemudian saya mencoba melangkah lagi. Dan…berhasil! Memasuki kawasan vegetasi tubuh saya pulih dan semangat saya meningkat berkali-kali lipat. Mereka bilang saya hanya butuh terbiasa.


Keindahan perkebunan kaki gunung Cikuray
Photo by: @dimartana

Ini baru Indonesia!
Ternyata kabar bahwa peminat Cikuray khususnya saat 17 Agustus sedikit itu hanya isu lama. Buktinya, saat itu pendaki yang terdaftar mencapai seribu orang.  

Dalam perjalanan, ada pelajaran yang saya dapatkan lagi. Indonesia yang katanya ramah, sudah lama sekali saya tidak merasakannya sampai akhirnya tiba di tempat ini. Tempat yang sama sekali tidak terpikirkan dalam benak saya, gunung! Ketika semua tenaga, pikiran, emosi, hati sudah terlalu lelah tapi saya selalu menemukan orang-orang yang menyempatkan diri untuk sekadar menyapa, menawarkan untuk makan, minum, bahkan menyemangati dan memotivasi kami di saat mereka saja mungkin sedang membutuhkan sokongan semangat. Di sinilah Indonesia yang lama hilang, ini baru Indonesia!


Ketika dengkul bertemu dada… It's worth the fight.
Cikuray terkenal sekali dengan motto “Ketika dengkul bertemu dada.”. Saya pikir mereka hanya melebih-lebihkan saja. Ternyata ini benar-benar saya alami. Ini adalah pengalaman pertama saya mendaki gunung dan saya sudah dihadapi oleh terjal dan ganasnya pendakian yang berpadu dengan akar-akar licin. Ini akan menjadi perjuangan yang sangat berharga, pikir saya saat itu. It's worth the fight.

Perjuangan mencapai surga di atas awan
In frame: @dimartana
In frame: Dinar

Photo by: @dimartana


Jalur Cikuray hanya ada satu, hanya bisa melalui pos pemancar dan tracknya juga satu jalur. Jadi, pendaki tanpa pemandu tidak akan mudah tersesat. Selain itu lahannya sangat amat miring, sehingga harus selalu menanjak, merangkak, nyaris seperti sedang panjat tebing. Sulit sekali menemukan lahan datar untuk memasang tenda sehingga pendaki harus trekking lebih awal supaya kedapatan lahan untuk tenda. Selain tidak ada lahan landai atau datar, Cikuray juga dikelilingi pohon-pohon tinggi dan hutan hingga tidak ada kesempatan kita untuk menikmati pemandangan di bawahnya ketika sudah memasuki kawasan vegetasi.

Perjuangan selama delapan jam akhirnya selesai ketika tiba di tenda yang sudah didirikan oleh kawan yang sudah terlebih dahulu mencari lahan di pos enam. Rasanya lelah namun puas sekali sudah sampai sejauh ini meskipun belum tiba di puncak. Tegukan air putih saat itu lebih dari memuaskan dahaga, lebih dari kenikmatan minuman apapun di dunia.


Bima Sakti?
Malam tiba, dan udara semakin dingin. "Itu liat deh ada milky way," kata Radju. Saya senang bukan main dan melupakan suhu dingin di luar dengan bergegas keluar tenda. Sebersit asa menjadi kecewa saat saya melihat ke langit, hanya ada sedikit cahaya bintang dan saya yakin itu bukan Bima Sakti. Keadaan gunung Cikuray dengan kanopi tertutup di mana penuh pohon-pohon besar yang menghalangi tidak memungkinkan saya untuk sekadar memandangi langit malam itu. Impian saya bertemu Bima Sakti malam itu pupus sudah. Obsesi saya pada alam pun tertunda.

Keluar dari zona nyaman.
Cikuray membuat saya benar-benar keluar dari zona nyaman bahkan zona aman. Terlebih ketika pada tengah malam suara gemuruh angin mulai terdengar beradu hebat dengan dedaunan dan tenda. Tanpa saya sadari salah satu patok tenda kami terlepas dan tenda dalam posisi miring. Menjelang pukul 2 pagi, saya masih sesekali terbangun karena suara gemuruh angin semakin kencang dan terdengar seperti suara rintik-rintik. Lebih-lebih dari pukul 12 lalu, gemuruh angin kali ini tidak berhenti sama sekali. Kali ini benar-benar hujan, pikir saya. Teman-teman satu tenda masih tertidur lelap dan saya merasa ketakutan sendiri. Pikiran negatif lagi-lagi muncul dalam lamunan otak saya. Saya berada di ketinggian dua ribu sekian meter dari permukaan laut, tidur dengan alas miring dan bertepikan jurang, dan badai sedang menerjang tenda saya dengan segala kemungkinan dapat terjadi sekaligus tidak ada tempat untuk berlari dan berlindung. Tenda yang saya tempati adalah satu-satunya tempat yang aman dengan sejuta keresahan. Saya sudah keluar dari zona nyaman bahkan zona aman. Terlebih lagi rasa kecewa yang teramat karena kemungkinan saat summit tidak ada awan-awan yang menanti karena hujan, atau bahkan tidak ikut summit karena track pasti akan sangat licin.

Asa lagi-lagi menjadi kecewa. Haruskah lagi-lagi impian saya tentang alam akan tertunda? 

Summit attack.
Rupanya malam itu tidak hujan, hanya saja badai angin memang masih terjadi hingga pukul empat pagi ketika saya dan kawan-kawan memutuskan untuk menuju puncak. Tanpa istirahat sama sekali, saya akhirnya tiba di puncak dengan suhu dingin sejadi-jadinya yang membuat tangan dan bibir saya beku. Satu dari berjuta impian saya telah terwujud, impian saya tentang alam sudah terwujud, satu senyum simpul untuk itu. Sejak saat itu, saya semakin percaya akan mimpi. Kalau saja pagi itu udara dingin tidak menyergap, air mata saya mungkin sudah menetes deras. Nyanyian lagu Indonesia Raya di telinga dengan kibaran merah putih dalam bola mata saya membuat pagi itu semakin syahdu. 





Keindahan surga di atas awan tidak mampu saya gambarkan lewat kata-kata. Hanya saja gambar-gambar ini mungkin lebih pandai menceritakannya.

Photo by: @dimartana

INDONESIA ITU INDAH!
Photo by: @dimartana








Photo by: @dimartana
Photo by@dimartana



Photo by: @melemelemel




Miniatur kehidupan dalam dua ribu delapan ratus dua puluh satu meter.

17 Agustus saya kali ini berbeda, bukan upacara di lapangan luas lengkap dengan paskibraka dan paduan suara atau sekadar menonton upacara bendera di Istana Negara lewat televisi. Sekali lagi, saya keluar dari zona nyaman saya. Ini adalah momen bersejarah yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di puncak gunung, dengan track sedahsyat Cikuray, dan ini hadiahnya. Hadiah yang hanya bisa saya lihat dan nikmati dengan usaha dan kerja keras.
Photo by: @dimartana

Saya memang belum berhasil bertemu dengan gugusan bintang dalam Bima Sakti, tapi matahari juga bintang yang memancarkan cahayanya sendiri, bukan? Kali itu saya berada begitu dekat dengan langit, awan, mataharinya juga Penciptanya. Alam seakan berpesan, lihatlah lebih dekat, maka kau akan mengerti.

Golden sunrise
Photo by: @pratiwisn


Dari 2821 mdpl

Cikuray mengajarkan saya banyak hal, miniatur kehidupan dalam dua ribu delapan ratus dua puluh satu meter. Menunduk ketika naik dan tetap tegak ketika turun. "Fainna ma'al usri yusra. Inna ma'al usri yusra". Sesungguhnya setelah kesulitan selalu ada kemudahan. Mengajarkan saya bahwa tidak ada yang sia-sia. Bahwa bukan gununglah yang kita taklukkan, tapi diri kita. Seberapa sulitpun ujian yang kita hadapi, akan ada pelajaran yang bisa dipetik dan hasil yang bisa dinikmati. Dari atas sana sungguh rasanya manusia terlalu kerdil untuk menyombongkan diri di hadapan Tuhan. Dan dunia terlalu luas untuk diam di satu tempat, maka berputarlah. 

Siapa bilang Indonesia hanya punya surga bawah laut? Surga sesungguhnya ada di atas langit. Surga yang membutuhkan banyak perjuangan dan kebajikan untuk mencapainya.

Indonesia's Paradays

“The world is a book, and those who don't travel only read one page.” ― Augustine of Hippo
.
.
.
.

Postingan ini ditulis dan diperbaharui dari postingan sebelumnya "Tiga Hari Untuk Selamanya: Hiking Perdana di Gunung Cikuray" dalam rangka meramaikan ulang tahun Paradays yang ke-4 dengan turut berpartisipasi membagi kisah inspiratif di balik surganya Indonesia.
Selamat ulang tahun Paradays, semoga selalu menginspirasi layaknya kekayaan surgawi Indonesia! :)


#Paradays4Blog



No comments:

Post a Comment

what do you think?