Tuesday, January 4, 2011

Mungkin...

Mungkin bukan sesuatu yang harus disesali ketika Tara akhirnya memutuskan untuk kembali bersama Nathan. Bukan sebuah kesalahan pula Nathan menginginkan Tara ada di sampingnya lagi. Tetapi ini adalah sebuah pertanggungjawaban atas segala yang sudah mereka tetapkan bersama. Prinsip keterbukaan dan kunci komunikasi yang menjadi bumbu-bumbu harum hari-hari mereka. Tapi siapa sangka segala sesuatu kini telah berubah bahkan 180 derajat. Ya, segalanya takkan selalu berbuah manis. Ada kalanya pohon yang semakin tinggi itu diterkam angin dahsyat, ada kalanya buah yang dinanti-nanti terlalu muda untuk dipetik atau dilupakan hingga teronggok jatuh sendirinya lalu membusuk.
Jarak bukanlah sebuah masalah besar bagi Tara, Tara yakin, ketika mereka sudah berpegangan kuat pada prinsip yang ia namakan "truth, loyal and honest", semua akan baik-baik saja. Ia sadar betul, ia sangat membutuhkan sosok Nathan, tetapi semua takkan bisa selamanya begitu. Kisah tujuh bulan lalu yang sudah ia kunci rapat-rapat membuatnya belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Ia bangkit, tak ingin lagi menoleh ke belakang, takkan membiarkan luka lama menghantuinya. Terkadang ia bahkan tak sadar, bahwa memutuskan semua itu justru membuatnya terperosok dalam jurang yang lebih dalam. Tetapi hidup harus tetap berjalan, katanya. Masa lalu biarlah menjadi pelajaran berharga bagi dirinya dan Nathan. Tak ada yang pernah menduga jika badai akan tiba-tiba muncul di siang hari yang cerah.

Menjalani semuanya, memperbaiki masa lalu, mungkin itu yang dilakukan Tara.

Namun kini badai itu datang, mimpi buruk itu menjadi nyata. Nathan berubah, kesibukannya merubah ia menjadi orang yang tak lagi dikenal Tara. Tara tak begitu mempermasalahkan, yang selalu ia permasalahkan adalah perhatiannya yang selalu diabaikan Nathan. Nathan tak pernah mengerti, kegelisahan dan kekhawatiran Tara yang begitu mendalam yang membuat ia membagi banyak perhantiannya pada Nathan.
Nathan sendiri belakangan ini lebih sering keluar malam, menyibukkan diri. Yang ia katakan, ia sibuk dengan tugas-tugasnya. Tentu Tara maklum, tapi apa salah jika seorang yang punya hubungan spesial menginginkan ada satu sama lain? Tara rela menanti dan bersabar, tapi yang ia lihat justru tak ada hasilnya. Ia hanya butuh Nathan paling tidak sedikit saja untuk jadi teman berbaginya, tempat ia meluapkan tangisannya, tempat ia mendapat sebuah ketenangan. Kini Nathan benar-benar jauh dari sosok yang duru Tara kenal. Ia bisa, jika ia mau meluangkan waktunya, tetapi ia justru menyibukkan dirinya saat jam kosong tiba.

Lalu buat apa Tara ada dalam hidupnya? Tara merasa disia-siakan, merasa seperti sampah, seperti boneka. Yang akan diminta hadir saat Nathan sedang jatuh tersungkur, lalu setelah itu ia dikembalikan dan takkan disentuh lagi. Tara mengutuk dirinya kenapa ia merasa jadi tidak berguna. Buat apa dia terus menunggu, jika orang di sana sudah tidak lagi membutuhkannya? Lalu, apa yang ia dapat setelah penantian itu?

Sudah beberapa hari komunikasi Tara dan Nathan tak berjalan seharusnya. Ia rasa semua prinsip itu telah pudar. Apalah arti semua ini? Ketika semuanya semakin menjadi bumerang dalam hidupnya, ketika harusnya ia menikmati hari-hari pertama sekolahnya, ketika seharusnya Nathan mendapat dukungan penuh dari Tara untuk menempuh ujian, semuanya tak terkendali. Tara diam, entah berapa lama ia menyembunyikan rasa sakitnya sendiri, sudah berapa lama ia menahan dirinya. Namun Nathan tak juga pernah merasa bersalah telah menyakiti hati Tara. Mungkin segalanya akan berakhir. Hari-hari Tara mulai diisi tangisan. Ia tahu, suatu saat, semua yang telah ia simpan akan meledak. Erupsi-erupsi yang mulai bermunculan akan berubah menjadi eksplosi yang siap meledak kapanpun. Ia tahu semua akan berakhir, ia tahu, ia tahu pasti. Tapi satu yang Tara pegang, meskipun segalanya harus berakhir kembali, ia tak ingin dirinya yang mengusulkan untuk mengakhiri semua yang telah mereka lalui. Ia akan diam meski takkan menahan jika memang Nathan yang ingin mengakhirinya. Ia akan mencoba ikhlas, namun ia tetap tak ingin mengusulkan dari mulutnya sendiri, karena tak ingin lagi ada penyesalan. Ia tahu, setiap penyesalan, selalu datang di akhir, dan ia tak ingin merasakan penyesalan yang sama.

Selasa siang saat bel sekolah, Tara turun ke lantai dasar, terus berjalan santai, sesekali menyapa atau membalas sapaan, berhenti di koridor untuk sekedar bercanda atau bertanya, kemudian berjalan lagi dengan memanggul tas ranselnya. Ia bertemu salah seorang kawannya di depan ruang guru, sedikit berbincang mengenai rencana perginya siang itu. Kemudian ikut duduk di koridor. Matanya mengitari sekeliling sekolah, sesekali memperhatikan orang yang lalu lalang di hadapannya, kemudian mata itu terhenti pada sesosok seorang wanita berjilbab merah. Tara masih tidak yakin, matanya mengikuti arah wanita itu berjalan, kemudian, ya, tepat sekali dugaannya. Seketika itu jantungnya terasa nyeri, berdetak jauh lebih cepat dan itu sangat sakit. Tuhan, kenapa harus lagi? Wanita yang ia lihat adalah Della. Ya, sesosok perempuan yang sudah lama tak dilihatnya. Melihatnya, membuat luka batin Tara yang sudah tertutup mengelupas lagi. Tara sudah tidak pernah lagi membahas mengenai perempuan itu saat ia dan Nathan sedang dalam masalah. Ia tak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal Della. Ia ingin melupakan masa lalu itu, melupakan sakit itu. Melihatnya sama saja seperti mengorek luka lama. Pertikaian itu, semua itu, menghentakkan jantung Tara, membuat ia mengecil layaknya masa lalu itu. Dimana dengan rendahnya ia disebut parasit, perebut pacar orang. Sungguh, itu sangat menyakitkan, yang membuat semuanya berantakan, hidupnya berantakan. Tara sudah berjuang keras melupakannya. Tak berlebihan ketika jantungnya begitu sakit, kelemahan Tara saat sakit hatinya muncul. Begitu perih, bahkan seorang teman mengingatkan, "Waktu lo nangis di masjid itu kan, Tar, yang soal dia?". Hah, Tara rasanya ingin mengasingkan diri lagi. Rasanya begitu ruwet ketika kembali pada masa lalu.

No comments:

Post a Comment

what do you think?