Memandang galaksi bima sakti
dengan mata kepala sendiri adalah obsesi saya terhadap alam.
Menikmati hangatnya sinar
matahari yang perlahan beranjak dari tidurnya dari dekat adalah
impian saya tentang alam.
“Bonusnya pendaki itu bisa
liat matahari bangun dari kasurnya, mba." -Kak Bote, 2014.
Ini adalah kisah tentang
pencarian dan pencapaian “tertinggi” demi seteguk Paradays dari arakan awan, dari sekumpulan bintang bernama Bima Sakti. Ini adalah kisah tentang perjuangan yang teramat
luar biasa menaklukkan hati, jiwa, dan raga lebih dari apapun demi mencapai "surga". Surga sesungguhnya ada di atas langit. Surga yang membutuhkan banyak perjuangan dan kebajikan untuk mencapainya.
.
.
.
.
.
Jum’at, 15 Agustus 2015
Empat belas raga manusia
beranjak dari terminal Kampung Rambutan dengan wajah yang tidak jelas rautnya.
Ya, karena waktu itu hari sudah malam. Ada rasa bahagia bercampur khawatir yang
sulit saya gambarkan lewat raut wajah saat itu. Bagaimana tidak, ini adalah
kali pertama dalam hidup saya mencoba untuk mendaki gunung. Entah ini konyol
atau tidak, tapi demi melihat wujud Bima Sakti. Tujuan kami adalah Gunung
Cikuray, Garut, Jawa Barat. Gunung yang dikenal memiliki trek yang tidak biasa
dan terjal tanpa lahan datar. Bagaimanapun beberapa orang sempat meragukan saya
yang belum pernah sama sekali mendaki akan mampu sampai pada puncak gunung
tersebut. Tapi saya sudah membulatkan tekad, lebih bulat dari bentuk bumi yang
bahkan tidak benar-benar bulat. Kesempatan ini tidak boleh saya sia-siakan
seperti kesempatan mendaki Mahameru yang saya lewatkan karena terganjal izin
orang tua. Tanpa Ranukumbolo saya tetap harus bisa melihat sang Bima Sakti.
Bus melaju dengan kepadatan
penumpang yang tidak dapat saya maklumi. Dengan tumpukan carrier di bagian
belakang bus, saya yakin tujuan mereka di antaranya adalah Papandayan, Guntur, dan….
Mungkin Cikuray? Untuk yang satu ini saya belum terlalu yakin. Menurut kawan mendaki
saya belum banyak orang yang mau mendaki Cikuray karena lahannya yang sempit dan
terlalu terjal untuk membangun tenda. Saya pun masih sangat asing mendengar
nama gunung tersebut.
Gunung Cikuray dari kejauhan sumber: commons.wikimedia.org |
Sabtu, 16 Agustus 2015
Sekitar 4-5 jam saya habiskan dalam perjalanan menuju Garut.
Sekitar pukul dua dini hari saya dan kawan-kawan tiba di SPBU Tanjung, tempat
kami akan dijemput oleh mobil pick up. Di SPBU Tanjung ini tersedia fasilitas yang
menurut saya cukup lengkap dari mulai adanya masjid, wc umum, minimarket sampai
warteg untuk sarapan. Baru sampai di SPBU ini badan saya sudah menggigil sekali
ditambah semilir angin sukses membuat saya kedinginan. Sesekali suara-suara menggaung di telinga saya. Ini baru di Tanjung, belum ada apa-apanya
dibandingkan di puncak sana.
Bersama rombongan lainnya kami menggelar matras di
teras masjid dan merebahkan badan, makan dan bercengkerama sampai subuh. Ada
kesempatan untuk melanjutkan tidur yang sempat terganggu di bus sebelumnya,
tapi udara dingin membuat saya enggan memejamkan mata sedikitpun.
Ada satu hal yang menghangatkan hati saya dalam sekejap saat
saya merebahkan badan. Bintang
berkelap-kelip di hadapan mata saya yang redup-redup terkena semilir angin. Tak
banyak memang bintangnya, tapi juga tak banyak kesempatan seperti ini saya
dapatkan di kota penuh polusi seperti di Jakarta. Doa saya pagi itu, semoga
mata saya dapat bertautan dengan lautan awan dan sang Bima Sakti. Saya terus memandangi langit
syahdu itu hingga udara mulai menghangat seiring bangunnya matahari dari
selimut.
Matahari semakin meninggi ketika mobil pick up kami baru
saja menjemput. Perjalanan menuju pos pemancar tidak tanpa kendala, kami
melewati kebun teh dan sesekali kanan dan kiri kami adalah jurang. Mang
Aep, supir pick up kami hanyalah satu dari puluhan warga setempat yang mampu
menaklukkan medan menuju pos pemancar ini. Di jalan yang sepertinya hanya muat
satu mobil ini ada saja mobil dari arah berlawanan, dan di sinilah ketangguhan
dan kesabaran Mang Aep diuji. Bahkan beberapa kali ada mobil lain yang selip
sehingga Mang Aep harus beberapa kali turun untuk membantu.
Pos pemancar Photo by: @dimartana |
Mereka bilang saya hanya butuh terbiasa…
Pendakian belum dimulai,
tapi jantung saya sudah berdegup kencang ketika satu persatu botol air mineral ukuran
besar dimasukkan dalam carrier saya. Selain treknya yang hanya diisi oleh
tanjakan, Cikuray juga tidak menyediakan banyak sumber air di atas sana.
Sehingga mau tidak mau saya harus membawa dua botol air mineral besar dalam
carrier saya yang juga berisi barang pribadi. Saya begitu percaya diri
ketika badan saya berdiri tegak menggunakan carrier tersebut dan seketika saya
merasa mampu membawanya sampai puncak. Namun, kenyataan menolaknya
mentah-mentah. Rupanya perjalanan dari awal justru mematahkan semangat saya.
Undakan tangga yang terbuat dari tanah dan tanpa henti itu membuat saya
kehabisan oksigen dan membuat wajah saya
pucat pasi. Baru saja menit kelima belas yang saya habiskan, badan saya sudah
menjatuhkan diri untuk duduk. Kepala saya terasa sakit, sedetik saya tidak
menguasai diri saya maka saya akan jatuh pingsan. Saya terus menguatkan diri
bahwa saya bisa, saya pasti bisa. Kala itu suara setan terus berdengung
mengatakan bahwa saya tidak pantas ada di atas sana. Katanya, “dari ratusan
bahkan ribuan orang yang mendaki saat itu hanya kamu yang jatuh pada menit
kelima belas. Bahkan kawanmu yang juga pertama kali mendaki begitu hebatnya
sudah melampauimu. Sudah saya bilang sedari awal keputusanmu mendaki itu bukan
keputusan cerdas. Lantas, sekarang kamu hanya bisa merepotkan mereka yang harus
menunggu kamu bangkit. Pulanglah.” Suara setan itu saya turuti. Detik itu
bahkan saya sudah memikirkan di mana saya akan menginap untuk menunggu mereka
turun.
Suara itu buyar ketika
beberapa dari kawan saya berdiri di depan saya meyakinkan bahwa saya bisa.
Menenangkan saya untuk tidak khawatir dan menawarkan untuk bertukar carrier
dengan daypack serta memberikan madu untuk meningkatkan gula darah saya. Mengingatkan
saya untuk beristirahat ketika tubuh saya membutuhkannya. Saya mulai bangkit
dan terus meyakinkan diri bahwa saya bisa, dan ketika yakin saya pasti bisa.
Ini adalah urusan menaklukkan diri saya, saya yakin Tuhan tidak pernah tidur.
Maka sedetik kemudian saya mencoba melangkah lagi. Dan…berhasil! Memasuki
kawasan vegetasi tubuh saya pulih dan semangat saya meningkat berkali-kali
lipat. Mereka bilang saya hanya butuh terbiasa.
Keindahan perkebunan kaki gunung Cikuray Photo by: @dimartana |
Ini baru Indonesia!
Ternyata kabar bahwa peminat
Cikuray khususnya saat 17 Agustus sedikit itu hanya isu lama. Buktinya, saat
itu pendaki yang terdaftar mencapai seribu orang.
Dalam perjalanan, ada
pelajaran yang saya dapatkan lagi. Indonesia yang katanya
ramah, sudah lama sekali saya tidak merasakannya sampai akhirnya tiba di tempat
ini. Tempat yang sama sekali tidak terpikirkan dalam benak saya, gunung! Ketika
semua tenaga, pikiran, emosi, hati sudah terlalu lelah tapi saya selalu
menemukan orang-orang yang menyempatkan diri untuk sekadar menyapa, menawarkan
untuk makan, minum, bahkan menyemangati dan memotivasi kami di saat mereka saja
mungkin sedang membutuhkan sokongan semangat. Di sinilah Indonesia yang lama
hilang, ini baru Indonesia!
Ketika dengkul bertemu dada… It's worth the fight.
Cikuray terkenal sekali
dengan motto “Ketika dengkul bertemu dada.”. Saya pikir mereka hanya
melebih-lebihkan saja. Ternyata ini benar-benar saya alami. Ini adalah pengalaman
pertama saya mendaki gunung dan saya sudah dihadapi oleh terjal dan ganasnya
pendakian yang berpadu dengan akar-akar licin. Ini akan menjadi perjuangan yang
sangat berharga, pikir saya saat itu. It's worth the fight.
Perjuangan mencapai surga di atas awan In frame: @dimartana |
In frame: Dinar |
Photo by: @dimartana |
Jalur Cikuray hanya ada satu, hanya bisa melalui pos pemancar dan tracknya juga satu jalur. Jadi, pendaki tanpa pemandu tidak akan mudah tersesat. Selain itu lahannya sangat amat miring, sehingga harus selalu menanjak, merangkak, nyaris seperti sedang panjat tebing. Sulit sekali menemukan lahan datar untuk memasang tenda sehingga pendaki harus trekking lebih awal supaya kedapatan lahan untuk tenda. Selain tidak ada lahan landai atau datar, Cikuray juga dikelilingi pohon-pohon tinggi dan hutan hingga tidak ada kesempatan kita untuk menikmati pemandangan di bawahnya ketika sudah memasuki kawasan vegetasi.
Perjuangan selama delapan
jam akhirnya selesai ketika tiba di tenda yang sudah didirikan oleh kawan yang
sudah terlebih dahulu mencari lahan di pos enam. Rasanya lelah namun puas
sekali sudah sampai sejauh ini meskipun belum tiba di puncak. Tegukan air putih saat
itu lebih dari memuaskan dahaga, lebih dari kenikmatan minuman apapun di
dunia.
Bima Sakti?
Malam tiba, dan udara
semakin dingin. "Itu liat deh ada milky way," kata Radju. Saya senang
bukan main dan melupakan suhu dingin di luar dengan bergegas keluar tenda. Sebersit
asa menjadi kecewa saat saya melihat ke langit, hanya ada sedikit cahaya
bintang dan saya yakin itu bukan Bima Sakti. Keadaan gunung Cikuray dengan
kanopi tertutup di mana penuh pohon-pohon besar yang menghalangi tidak
memungkinkan saya untuk sekadar memandangi langit malam itu. Impian saya
bertemu Bima Sakti malam itu pupus sudah. Obsesi saya pada alam pun tertunda.
Keluar dari zona nyaman.
Cikuray membuat saya
benar-benar keluar dari zona nyaman bahkan zona aman. Terlebih ketika pada tengah malam suara
gemuruh angin mulai terdengar beradu hebat dengan dedaunan dan tenda. Tanpa saya sadari
salah satu patok tenda kami terlepas dan tenda dalam posisi miring. Menjelang
pukul 2 pagi, saya masih sesekali terbangun karena suara gemuruh angin semakin
kencang dan terdengar seperti suara rintik-rintik. Lebih-lebih dari pukul 12
lalu, gemuruh angin kali ini tidak berhenti sama sekali. Kali ini benar-benar
hujan, pikir saya. Teman-teman satu tenda masih tertidur lelap dan saya merasa
ketakutan sendiri. Pikiran negatif lagi-lagi muncul dalam lamunan otak
saya. Saya berada di ketinggian dua ribu sekian meter dari permukaan laut,
tidur dengan alas miring dan bertepikan jurang, dan badai sedang menerjang
tenda saya dengan segala kemungkinan dapat terjadi sekaligus tidak ada tempat untuk
berlari dan berlindung. Tenda yang saya tempati adalah satu-satunya tempat yang aman dengan
sejuta keresahan. Saya sudah keluar dari zona nyaman bahkan zona aman. Terlebih
lagi rasa kecewa yang teramat karena kemungkinan saat summit tidak ada
awan-awan yang menanti karena hujan, atau bahkan tidak ikut summit karena track pasti akan
sangat licin.
Asa lagi-lagi menjadi
kecewa. Haruskah lagi-lagi impian saya tentang alam akan tertunda?
Summit attack.
Rupanya malam itu tidak
hujan, hanya saja badai angin memang masih terjadi hingga pukul empat pagi
ketika saya dan kawan-kawan memutuskan untuk menuju puncak. Tanpa istirahat
sama sekali, saya akhirnya tiba di puncak dengan suhu dingin sejadi-jadinya
yang membuat tangan dan bibir saya beku. Satu dari berjuta impian saya telah
terwujud, impian saya tentang alam sudah terwujud, satu senyum simpul untuk
itu. Sejak saat itu, saya semakin percaya akan mimpi. Kalau saja pagi itu udara
dingin tidak menyergap, air mata saya mungkin sudah menetes deras. Nyanyian
lagu Indonesia Raya di telinga dengan kibaran merah putih dalam bola mata saya membuat
pagi itu semakin syahdu.
Keindahan surga di atas awan tidak mampu saya gambarkan lewat kata-kata. Hanya saja gambar-gambar ini mungkin lebih pandai menceritakannya.
Photo by: @dimartana |
INDONESIA ITU INDAH! Photo by: @dimartana |
Photo by: @dimartana |
Photo by@dimartana |
Photo by: @melemelemel |
17 Agustus saya kali ini
berbeda, bukan upacara di lapangan luas lengkap dengan paskibraka dan paduan
suara atau sekadar menonton upacara bendera di Istana Negara lewat televisi.
Sekali lagi, saya keluar dari zona nyaman saya. Ini adalah momen bersejarah
yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Ini kali pertama saya
menginjakkan kaki di puncak gunung, dengan track sedahsyat Cikuray, dan ini
hadiahnya. Hadiah yang hanya bisa saya lihat dan nikmati dengan usaha dan kerja
keras.
Saya memang belum berhasil
bertemu dengan gugusan bintang dalam Bima Sakti, tapi matahari juga bintang
yang memancarkan cahayanya sendiri, bukan? Kali itu saya berada begitu dekat
dengan langit, awan, mataharinya juga Penciptanya. Alam seakan berpesan, lihatlah lebih
dekat, maka kau akan mengerti.
Golden sunrise Photo by: @pratiwisn |
Dari 2821 mdpl
Siapa bilang Indonesia hanya punya surga bawah laut? Surga sesungguhnya ada di atas langit. Surga yang membutuhkan banyak perjuangan dan kebajikan untuk mencapainya.
Indonesia's Paradays |
“The world is a book, and
those who don't travel only read one page.” ― Augustine of
Hippo
.
.
.
.
.
.
.
Postingan ini ditulis dan diperbaharui dari postingan sebelumnya "Tiga Hari Untuk Selamanya: Hiking Perdana di Gunung Cikuray" dalam rangka meramaikan ulang tahun Paradays yang ke-4 dengan turut berpartisipasi membagi kisah inspiratif di balik surganya Indonesia.
Selamat ulang tahun Paradays, semoga selalu menginspirasi layaknya kekayaan surgawi Indonesia! :)
#Paradays4Blog
No comments:
Post a Comment
what do you think?