Monday, November 25, 2013

Pertemuan itu...

Seperti tanah kerontang yang dalam hitungan detik dihujani oleh awan, aku berdiri terpaku dalam sendu yang tak kunjung menguap. Aku sudah muak dengan cahaya, teriknya telah memecah nadi. Aku sudah muak dengan asa, janji seakan tak patut ditepati. Lagi-lagi aku berdiri di tempat yang sama ketika janji sudahlah sirna. Ada satu titik yang berhenti tepat di sini, di kalbu. Aku bukan lagi berbicara tentang cahaya, titik ini terasa embun, tidak mungkin cahaya sesejuk ini. Terlalu lama berlari menuju cahaya agar sampai pada pelangi, aku telah lupa hingga tak mampu menyimpulkan sebuah titik. Rupanya itu kamu. Yang telah lama aku tinggalkan demi seberkas cahaya. Pantas saja aku lupa. Karena aku telah lama kehilangan sejuk. Karena bagiku, hujan adalah masa lalu yang harus kutinggalkan demi melihat pelangi. Aku tidak lupa kamu, aku hanya berusaha terlalu keras. Tapi haruskah kamu muncul sebelum aku dapat melihat pelangi? Ulat saja tertawa geli melihatku gugup tak karuan. Aku mungkin seperti gunung es yang tiba-tiba saja lumer, tapi cahaya seakan menarikku hingga kokoh sedikit demi sedikit. Kamu sudah menemukan bahagiamu di ujung sana, sehingga sudah seharusnya aku yang berada di kutub lainnya tidak lancang mendekati garis ekuator. Sampai kapanpun Utara akan tetap di Utara dan Selatan akan tetap di Selatan. Aku pernah ada pada satu masa ketika aku merasa hidupku hampir usai karena bahagiaku telah datang. Bukankah setiap akhir akan selalu indah? Itu kan yang Tuhan maksud dengan indah pada waktunya? Nyatanya, aku belum ada pada titik terakhir hidupku, sebab bukan nyawaku yang terenggut, melainkan bahagiaku. Maka seperti aku yang mengejar pelangi, hari esok akan segera terlewat, pun dengan hari-hari berikutnya. Seperti yang pernah kamu bisikkan di sela isak tangisku sebelum lelap. Sebab aku selalu dihantui ketakutan akan hari esok. Maka, berbahagialah kamu bersama dia yang selalu ingin kamu jaga.

Aku yang pandai berpura-pura.




No comments:

Post a Comment

what do you think?