Saturday, November 30, 2013

Belajar dari Senja

Saya dalam perjalanan menuju rumah ketika matahari mulai beranjak menuju buaiannya. Langit seakan menyambut saya dengan senjanya yang tak pernah gagal. Tak bisa saya pungkiri bahwa senja selalu nikmat untuk dipuji. Entah sudah pujian ke berapa yang saya kirim kepada pencipta atas segala senja yang selalu nampak jelas dari muka bumi. Ya, panggil saya penikmat dan pengagum senja. Seperti budak yang mengagumi tuannya dari balik pintu. Tapi kekaguman saya pada senja ini berhenti pada tempatnya, karena bagi saya saat itu, senja yang sebelumnya jauh lebih indah. Saya bersikeras yakin bahwa senja sebelumnya adalah senja terindah yang bahkan tidak bisa dikalahkan oleh senja seindah sore itu. Saya terus bergerak menuju arah barat Jakarta seakan dituntun oleh matahari yang juga menuju rumah. Saya masih asik dengan seisi pikiran saya yang seakan memiliki dunia sendiri ketika setelahnya saya mendongakkan wajah ke langit. Seperti ada dentuman luar biasa yang melanda telinga, saya hampir tidak bisa mendengar detak jantung saya di dua detik tersebut. Yang saya tangkap detik itu adalah warna langit yang secara tiba-tiba berubah dipenuhi jingga. Jingga yang tidak biasa, seperti dilukis menggunakan krayon yang menorehkan warna tebal lalu digradasi dengan nila. Biru menari seperti sehelai kain yang diterbangkan angin. Tidak seperti matahari tenggelam yang biasa dijumpai di kota besar, yang tiba-tiba saja ditenggelamkan oleh awan. Matahari sore itu beranjak dengan sangat lembut menuju garis di ujung jalan, seakan-akan saya berada di sebuah pantai. Mungkin saja saat itu saya tenggelam di antara imajinasi dalam lukisan. Tapi tidak, tidak, saya yakin saya tidak bermimpi, melainkan sedang dibangunkan oleh Tuhan. Dentuman yang hanya saya dengar sendiri itu seakan membangunkan saya dari mimpi berkepanjangan. Saya seakan bisa mendengar Tuhan berkata, "Ada yang lebih indah dari apa yang kamu kira indah.". Saya malu karena telah dengan angkuhnya berkata bahwa tidak ada senja yang bisa mengalahkan senja sebelumnya. Juga malu karena selalu berpikir suatu hal yang telah saya pertimbangkan masak-masak adalah hal yang terbaik. Hal yang jika apapun terjadi tetaplah terbaik. Lagi-lagi manusia hanya berencana. Ini bukan mengenai satu, melainkan banyak hal. Manusia sering kali menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang sama, sehingga sejauh mana dia melihat, maka titik itulah yang dianggap terbaik. Saya memang tidak tahu pasti apakah benar maksud Tuhan adalah  memberikan pelajaran itu kepada saya karena senja adalah sesuatu yang setiap hari terjadi. Bisa saja saya berpikir itu hanya senja biasa, yang setiap orang dapat melihatnya, yang terlihat jelas dari sudut manapun di kota ini. Namun tidak kali ini. Saya mendadak merasa begitu kerdil. Secara spiritual hati saya bergetar hebat, dan maknanya sampai begitu cepat di pikiran. Saya menangkap dengan pasti, bahwa apapun yang saya anggap paling indah, belum tentu adalah yang terindah. Ada yang lebih indah dari apa yang saya anggap indah. Indah pada perspektif manusia tidak selamanya indah di mata Tuhan. Tapi indah bagi Tuhan, sudahlah pasti indah bagi siapapun.

Pelajaran kedua yang saya ambil sore itu adalah tentang belajar dari alam. Saya sering kali merasa ditegur melalui fenomena yang terjadi di alam. Ini adalah satu dari banyak alasan mengapa saya selalu mengaitkan apapun dengan alam dalam tulisan-tulisan saya. Hal yang tidak boleh terlupa juga bahwa manusia dibuat dari tanah, maka hakikatnya akan kembali ke tanah, di situlah kita harus memandang alam. Pelajaran bukan hanya dipetik secara verbal melalui tulisan maupun perkataan, tapi juga dari peristiwa. Itulah mengapa orang bijak selalu berkata bahwa selalu ada hikmah di balik suatu peristiwa. Seiring dengan ditelannya matahari oleh garis di ujung jalan, sore itu saya habiskan dengan mengucap subhanallah.

No comments:

Post a Comment

what do you think?