Sunday, May 5, 2013

Terjebak Nostalgia.

Bintang, izinkan aku untuk bercerita mengisi kesenduan malam ini.

Malam ini, entah dengan tujuan apa aku membuka kembali riwayat percakapan aku dan Bintang dalam sebuah akun. Aku sedikit terkaget melihat begitu lama akun ini menjadi saksi pembicaraan kita. Aku teringat kembali begitu banyak pasang surut yang mengantar kita menuju titik ini.

Kumulai dari pertama kali Bintang membuat akun tersebut. Aku tidak paham jelas apa yang mendasari Bintang membuat akun ini, seingatku, aku pernah memintanya membuat akun ini dengan nada bercanda. Saat itu cukup banyak yang kami bicarakan, kami sudah dekat saat itu. Tetapi, bagiku Bintang hanyalah sekadar teman mengobrol, tidak lebih. Ada satu pembahasan yang menggelitik saat itu. Aku dengan santainya menanyakan apakah ia tidak takut akan merasa sakit hanya menyayangi seorang diri tanpa mendapat balasannya. Jawabannya membuatku teringat percakapan tempo harinya. Bintang pernah memintaku untuk menjauh jika aku takut membuatnya sakit hati, tetapi aku menolak. Semuanya bergulir, seringkali ia mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung dengan nada bercanda. Aku tidak menghiraukan bagian itu. Aku tersenyum membacanya saat ini. Aku terus meneruskan membaca percakapan itu, hari dan tanggal terus berubah hingga pada satu waktu kami membicarakan baju kebaya yang akan aku kenakan saat wisuda. Kami bercanda banyak hal, mengenai aku yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi hingga aku yang membalas dengan skripsinya yang tidak kunjung selesai bahkan sampai aku hampir wisuda. Aku juga pernah bicara banyak, dengan kata-kata pedas mengenai mimpi dan cita-cita. Hari selanjutnya, Bintang mengaku kata-kataku telah menamparnya sehingga sejak detik itu, ia yakin akan mewujudkan cita-citanya, akan merubahnya menjadi kenyataan, bukan sekadar harapan. Omong-omong, aku rindu menjadi penyemangatmu, Bintang. Aku rindu memacumu untuk lari mengejar cita-citamu hingga namaku tertulis dalam skripsi yang Bintang buat.

Setelah obrolan menjelang hari wisudaku, yang aku ingat, aku mulai menghindari Bintang. Saat itu aku sungguh takut Bintang berharap banyak hal padaku. Meski dia selalu berkata bahwa yang diinginkan bukanlah memiliki aku, aku tahu itu terlalu munafik. Sampai akhirnya tiba di satu waktu, entah apa yang jadi alasan, aku kembali dekat dengan Bintang di saat banyak hal yang membuat dia nyaris putus asa. Aku masih dengan usahaku mengejar cita-cita. Pada suatu hari aku mengikuti ujian di salah satu institusi, sepulangnya aku menyempatkan diri untuk menonton pertunjukan teater yang Bintang bimbing. Siang itu aku melihat ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Entahlah, aku tidak terlalu ingin tahu. Sepulangnya, dia mentraktir aku dan teman-teman di salah satu restoran Italia tak jauh dari tempat aku menonton pertunjukan. Sebelumnya, dia hampir mengajakku untuk makan di sebuah kedai es krim terkenal di wilayah Jakarta Pusat. Ada sebersit pikiran untuk menolak. Tapi kuputuskan untuk mengiyakan ajakannya. Kupikir, biarlah, hari itu mungkin akan jadi hari terakhir aku bertemu dengannya. Untuk pertama kalinya, aku mengizinkan dia mengantarku pulang. Perasaanku belum berubah, masih sama, datar. Mungkin saat itu aku tengah ragu.

Ternyata, ada satu hal lagi yang mempertemukan aku dan Bintang kemudian. Bersama Bintang dan teman-temanku, kami menonton sebuah pertunjukan teater di Jakarta Selatan. Bintang duduk tepat di sebelahku, kami sedikit bercanda dan mengobrol. Tiba-tiba ada segelintir rasa nyaman yang sulit aku deskripsikan. Saat itu, keraguan dan tanda tanya dalam kepalaku telah terjawab. Aku tengah jatuh cinta padanya. Dini hari setelah menonton pertunjukan itu, aku dan dia telah menjadi kita.

Lama setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi dengan hatiku. Saat itu adalah perayaan ulang tahun teman dekatku. Bintang hadir. Namun, ada rasa risih dan tidak nyaman yang tiba-tiba menggelayut di hatiku. Aku merasa aku hanya ingin bersama teman-teman, rasa risih itu kemudian menggiringku menuju alasan-alasan yang tidak masuk di akal. Aku mati rasa. Aku merinding menyebutnya. Lagi-lagi aku harus menyebutnya dalam kisah yang berbeda. Aku pernah berpikir, mungkin aku hanya perlu sendiri lagi, mungkin segala rasa itu akan kembali muncul ketika telah terbiasa nanti. Tetapi nyatanya, ada beragam rasa yang menghantarku hingga sebuah keputusan. Aku merasa amat bersalah membiarkan Bintang yang tidak tahu apa-apa, yang masih menyayangiku dengan amat tulus. Lalu mulai ada sebersit rasa ingin bebas. Aku tidak pernah berani mengutarakan rasa yang secara tiba-tiba berubah itu, tetapi aku tetap memutuskan untuk sendiri. Hingga suatu ketika rasa kehilangan muncul di dalam benakku. Dan ketika aku bertemu Bintang untuk kali pertama setelah kami berpisah, adalah puncak rasa kehilangan yang aku rasakan. Bintang, sosok ini yang selama ini aku cari.


Pada akhirnya, cinta akan pulang ke rumah.
Juga cinta, akan berpulang kepada Tuhan Sang Maha Cinta.


Aku dan Bintang telah melewati banyak pasang surut yang tidak banyak orang ketahui. Dari mulai Bintang yang menyukai temanku, bukan aku. Kemudian entah bagaimana hingga dia memandang aku, tapi aku tak ingin memandangnya. Sikapku yang jauh dari ramah padanya. Usahanya yang begitu keras, kesabarannya, dan segala hal yang telah Bintang perjuangkan, semua membuahkan hasil.


Hingga akhirnya saat segala yang ia korbankan terbayar, Bintang mulai redup dan lelah menemani bulannya.

No comments:

Post a Comment

what do you think?