Sunday, April 11, 2010

Dia adalah Hujan

Jakarta, 5 Maret 2010
18.25


Petang itu aku baru saja menyelesaikan tugasku di sekolah. Hujan memang sempat turun begitu deras. Tetapi saat ku sudah berada di dalam angkutan umum menuju rumahku, hujan mulai reda. Syukurlah. Saat itu hari sangat gelap, tanpa bintang. Ya .. karena baru saja hujan turun begitu derasnya.

Kepala sebelah kananku. Lagi-lagi migran ini menyergapku. Oh migran, apa kau tak tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyambangi kepalaku? Aku terlalu suntuk dan lelah untuk segudang aktivitasku pekan ini. Aku harus menyelesaikan tugas yang menumpuk di depan mata berhubung minggu depan aku harus menghadapi Ulangan Tengah Semester. Fisikku butuh waktu untuk beristirahat. Bukannya aku tak memberinya kesempatan, namun aku tak bisa menolak beban ini.

Aku turun di halte depan komplek rumahku. Tiga kali ketukan cukup untuk membuat supir menginjak rem mobilnya. Aku turun perlahan, seketika kutengok arah bahu kiriku, dan kudengar suara klakson memecah keheningan petang yang beranjak malam. Cahaya itu memecah kegelapan di halte itu.. dan …. Brak!!! Sepersekian detik ban motor itu bergulir menabrak kakiku. Aku jatuh. Tergeletak walau aku masih sadar. Kacamataku hilang entah ada di mana. Folderku berserakan. Ah, tugas-tugasku!! Aku meraba aspal jalanan yang cukup kasar. Di mana kacamataku? Jalanan sepi, angkutan umum sudah berlalu saat aku memberikan ongkos. Suasana di halte juga gelap. Mengapa lampu jalan tak menyala di saat seperti ini? Aku masih sibuk dengan kegiatanku yang menyebalkan ini –mencari kacamataku- hingga ada suara yang menghentikan gerak tanganku. “Ini yang lo cari?” A-ah. Ya, mataku samar menangkapnya. Itu kacamataku. “Kembalikan!” Kataku sambil menarik kacamata yang menggantung di jari seorang.. Aku masih belum jelas melihat wajahnya.

Kupasang kacamataku perlahan. Aku memiringkan kepala seraya bertanya, “Kamu yang barusan nabrak aku?”. “Yah, gue rasa itu bukan murni kesalahan gue,” sahutnya sambil membantu mengumpulkan folderku kembali. Aku terheran dan kembali berseru, “Apa? Udah jelas-jelas kamu yang barusan nabrak aku. Masih mau nyalahin aku? Hah?”. Aku mencoba memperhatikan parasnya dari helm yang dikenakannya hingga sepatu converse yang melengkapi kaus kaki semata kakinya. Celana abu-abu. Aku yakin dia adalah salah satu murid SMA, sepertinya grade-nya lebih tinggi dibanding aku. Mungkin siswa kelas 12. Tapi yang lebih pastinya, ia bukan salah seorang seniorku. Aku tak pernah sedikitpun mengenali wajahnya itu.

“Nih!” Laki-laki itu meletakkan folder di pangkuanku. Aku masih meringis kesakitan. Sepertinya kakiku terluka, bahkan … o-ow berdarah. Aku dapat merasakan cairan merah segar itu mengalir.
“Oh, lo nggak bisa bangun ya? Biar gue bantu sini,” laki-laki itu menawarkan sambil menarik pelan tanganku. “Apaan sih? Jangan pegang-pegang! Aku gak kenal kamu!” bentakku. “Hey hey heeey! Oke, kalo nggak mau gue bantu. Sekarang naik motor gue. Gue anterin lo. Jangan nolak! Gue orang yang bertanggung jawab!” sahutnya kesal. Aku menunduk. Takut. Aku takut orang luar yang tidak ku kenal. Tapi dari sorot matanya, aku dapat melihat ketulusan bahkan dengan bentakan sekalipun. Aku masih bisa menangkapnya.

Aku mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang kumiliki. Sebersit rasa ragu muncul di benakku. “Ayo buruan! Udah keburu malem nih,” kata-katanya menyentakkanku dari lamunan. Benar juga. Hari semakin malam. Aku harus segera mengobati luka ini juga. Dengan penuh kegelisahan aku menumpangi sepeda motornya. “Rumah lo di mana?” tanyanya sebelum memutar gas motornya. “Nih, masuk komplek ini, rumahku ada di blok C8,” gumamku masih dengan nada takut. Motor melaju dan laki-laki ini tak menanyakan apa-apa lagi. Sepertinya sudah hafal sekali jalan di sini. Tapi tunggu, motor ini terus melesat kencang saat sudah melewati blok rumahku. “Hey! Rumahku ke sana!” berkali-kali ku berseru ia tetap tak menghentikan laju motornya. “Hey!! Aku teriak kalau kamu nggak juga berhenti!!!” Ia tambah mempercepat laju motornya. “Heh! Kamu mau bawa aku ke manaaa??!!” Aku masih histeris berteriak ketika ia memerintahkanku untuk turun. “Turun cepet!!” bentaknya dengan gusar. Aku menunduk. Lagi-lagi rasa takut menyergapku. Aku coba turun perlahan karena luka ini masih terasa perih dan o-ow .. saatku dongakkan wajah dan melihat .. “Ya, papaku dokter. Buka praktek di rumah. Udah kan? Sudah ku bilang, aku itu orang yang bertanggung jawab. Selagi aku bisa melakukan sesuatu buat nolong kamu. Ya aku tolong,” gumamnya lembut dengan ber aku-kamu. Mungkin dia sudah memahami bahwa aku terlalu polos untuk semua kata-katanya sedari awal tadi. Dan aku baru menyadari dia satu komplek denganku. Oh, aku menyesal telah berpikir yang tidak-tidak.

Usai mendapat sedikit balutan pada lukaku, aku keluar dari rumahnya masih dengan tertatih-tatih. Kenapa laki-laki itu duduk di motor saja? Apa dia menungguku? Aku putuskan untuk menghampirinya,"Mmm, maaf tadi aku udah mikir yang..." Ia memotong perkataanku, "Hari udah makin malem, sebaiknya kamu aku antar pulang. Cepet naik!" bentaknya namun dengan sentuhan kelembutan. Aku berangsur dari tempatku berdiri dan menaiki motor itu.

Sepanjang jalan aku terus menunduk merasa malu atas dugaanku yang jauh dari kenyataan. Ah, ini terulang lagi. Ini sudah sering terjadi padaku. Dugaanku selalu salah. Aku tak punya perasaan yang peka. Lebih baik aku tak menduga-duga lagi. Berhentilah motor itu di depan sebuah rumah minimalis berpagar hitam. Ya, itu rumahku. Terima kasih jadi akhir dari pertemuan kita. Mungkin kita tidak akan speerti ini lagi. Dia hanya orang asing bagiku. Aku melenyap masuk dan menghilang di balik pintu. Aku rasa dia masih memperhatikanku dari kejauhan. Pakaianku cukup basah karena hujan yang masih terus saja menitik tadi. Ah, aku benci hujan!

***

Lukaku masih berbekas saat hari sekolah tiba. Sesekali masih terasa perih. Aku tidak memiliki konsentrasi penuh untuk mengerjakan soal-soal ulanganku. Semua itu karena ulah... Oh, tidak! Mengapa terbersit lagi tentangnya di saat seperti ini. Mengganggu! Kumohon, jangan singgah lagi di otakku ini. Aku butuh konsentrasi. Rintik-rintik hujan kembali terdengar. Oh dear, mengapa hujan lagi?

Aku menghentikan langkahku saat ku menengadahkan wajahku ke langit sambil menjulurkan tangan untuk memastikan. Masih gerimis. Aku tidak mungkin memaksakan diri. Aku tak ingin mengambil resiko sakit di saat genting seperti ini, apalagi akan diperparah oleh kakiku yang akan menjerit kesakitan bila terkena air. Aku berangsur naik ke lantai paling atas bangunan sekolahku. Berdiri dan menatap hujan. Astaga! Hujan ini melunjak ya! Mengapa bertambah deras? Hey aku ingin pulang hujan, aku ingin belajar. Jangan mengulur waktu.. Kumohon. Lalu aku berseru dengan suara yang cukup lantang bagiku. Tapi kurasa, suaraku kalah oleh hujan. "HEY, RAIN!! STOP, PLEASE!". Pandangan ku beralih pada sisi kiri lorong. Ada seorang pemuda. Sepertinya ia habis menoleh ke arahku, dan ups.. berarti suaraku cukup lantang. Oh!

Bosan.. Aku kembali turun ke lantai dasar. Duduk tenang menatap hujan di kursi koridor. Hey, bukankah itu pemuda yang tadi? Jaket yang ia kenakan sama. Aku melihatnya memasuki mobil pribadinya kemudian melesat pergi. Siapa dia? Ada perlu apa? Oh, aku ingin sekali berkata bolehkah aku menumpangi mobilmu sampai rumah? Tapi itu tidak mungkin! Hal yang tak pernah dilakukan seorang Aurellia. Aku terus memperhatikan mobil yang melaju pelan hingga menghilang dari pintu gerbang sekolah. Sesaat setelahnya, hujan mulai mereda. Benarkah? Hujan mereda!

Jum'at 2 Juli 2010

Hari itu aku pulang sangat larut dari biasanya. Hari itu adalah rapat terakhir H-1 sebelum besok acaraku akan dilaksanakan. Pentas seni yang telah kutunggu-tunggu. Ini kali pertama aku menjadi ketua pelaksana dalam kegiatan OSIS sekolahku. Selama ini, paling tinggi jabatanku adalah sebagai sekretaris. Aku sangat antusias untuk acara ini. Kebetulan diadakan saat awal liburan. Konsepnya menarik, hasil sumbangan ide-ideku sehingga aku diangkat jadi ketua pelaksana kali itu. Aku bangga. Ya, ini modalku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Semua guru di bagian kesiswaan memuji acara yang kupimpin ini. Teman-teman juga mendukungku 100%. Besok, tibalah waktu yang kutunggu-tunggu.

Aku berjalan dengan ringan namun tetap terasa lelah. Tik..tik...tik. Hujan turun perlahan kemudian tiba-tiba volumenya bertambah. Aku baru saja siap berlari saat kepalaku berdenyut lebih kuat lagi dan aku terhuyung kemudian... Brakk!!

"Kamu lagi??!" Aku tersentak kaget seraya berseru saat kelopak mataku sudah mulai bisa terbuka perlahan. "Apa?" balas seorang laki-laki remaja. Dia yang kalau tidak salah tiga bulan yang lalu menabrakku juga. Oh ternyata benar, masih dengan motor yang sama. Aku dapat mengenalinya.
"Biar kubantu kali ini," suaranya kembali memecah keheningan sesaat. "Ga per.." lagi-lagi pembicaraan ku dipotong olehnya, "Kamu liat nggak sih? Kamu sadar nggak? Liat, ada darah di wajahmu. Dan sadar nggak, hujan semakin deras, tahu?" Kini kata-katanya menyadarkanku kembali. Rumahku dekat, aku lebih baik pulang ke rumah. "Sini, biar kubantu!" katanya menyambut tanganku. Argh. Sakit sekali. Aku tak dapat menggerakkannya. Kepala ini... aaah. Sakit! "Tanganku nggak bisa digerakin," gumamku. "Kamu jangan bercanda ah. Buruan ntar keburu infeksi lukamu itu," ia menanggapi tak percaya. "Kamu sadar, nggak? Aku nggak mungkin bohong di saat seperti iniiiii!!" Aku meniru caranya berbicara tadi dan sedikit membentaknya , atau mungkin banyak. Aku benar-benar kesakitan.

"Astaga!!"

"Kamu nggak akan bawa aku ke rumah kamu lagi kan? Cukup antar aku pulang, rumahku tinggal beda beberapa rumah lagi," tanyaku tak ingin merepotkan lagi. "Nggak. Tapi kali ini, aku harus benar-benar membawamu ke rumah sakit," sahutnya. "Oh, tidak.. Tidak usah! Aku hanya butuh istirahat. Mungkin tanganku hanya sedikit terkilir saja. Aku lelah, aku ingin istirahat," Aku lagi-lagi menolaknya. "Terserah itu urusanmu. Yang penting bagiku, kau harus segera mendapat pertolongan serius, aku tidak ingin menanggung segala yang lebih fatal akan terjadi.

***

Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kata dokter, aku masih harus mengistirahatkan sebentar tubuhku di ruangan itu sebelum boleh benar-benar pulang. Pemuda itu telah pamit pergi setelah membayar administrasi. Ada urusan katanya. Aku rasa aku takkan merepotkannya lebih lagi. Papa dan mama akan datang sebentar lagi. Ah sepi sekali. Tiba-tiba ponselku bergetar. Ku buka flip ponsel ku, "Ya?" tanyaku pelan tanpa menyapa terlebih dahulu. Karena aku tahu, itu Gisel, temanku di OSIS. Pasti ia menelepon untuk menanyakan soal ... "Ariz udah ngecek. Semua udah beres di sekolah. Tinggal besok kita dateng pagi-pagi banget udah ada di sekolah ya, Rel," kata orang diseberang sana dan o-oh! Oh dear, aku lupa! Besok acara yang selama ini ku tunggu-tunggu. Besok harus datang pagi sekali dan.. aku? Dalam keadaan seperti ini? Dengan retakan dan balutan luka tanganku yang tergantung diikat dengan sanggahan gips? Astaga! Bisa apa aku? Lagipula, dokter bilang, ototku masih tegang. Sehingga butuh lebih banyak waktu untuk istirahat. Lalu ke mana pemuda itu? Aku ingin ia bertanggung jawab lebih atas apa yang terjadi padaku ini, tapi sayangnya.. Aku baru ingat ia sudah pulang. Oh ya ampun, bagaimana acaraku besok? Kalau saja pemuda itu masih ada, sudah kucincang habis dia. Seenaknya saja sudah dua kali membuatku begini. Yang pertama aku tidak fokus ujian dan akhirnya nilaiku tidak maksimal. Sekarang apa lagi yang ia perbuat? Ah dia merusak mimpi indahku!

"Sel,sorry banget.. aku..." aku mejelaskan secara runtut bagaimana kejadian itu bisa terjadi dan akhirnya diputuskan, Gisel-lah yang mewakilkanku memberi sambutan di atas panggung. Padahal aku yang sedari dulu memimpikannya. Ingin merasakan atmosfernya. Ingin melihat sorak sorai penonton dengan sorot mata kagum padaku. Suatu kebanggaan buatku menjadi ketua dalam acara pentas seni terbesar sepanjang masa sekolahku yang disiarkan di salah satu acara televisi remaja.

***

Sorot mataku tak lepas dari layar televisi. Harusnya aku yang berbicara di situ. Aku menggerakkan tanganku untuk saling meremas. "Ah!" O-ow aku lupa, tanganku tidak sesempurna kemarin. Huh. "AAAAA semua karena cowok itu! Kalau aja nggak ada dia, hidupku pasti berjalan mulus," gumamku pada diri sendiri. Sabar, Rel. Kamu hari ini musti senyum. Melihat acaramu meski dari kejauhan. Batinku. Aku coba mengulas senyum puas saat melihat acara itu berjalan lancar. Saat acara inti berlangsung, tak seperti awal yang berjalan sedemikian lancar. Hujan tiba-tiba menitik. Terus menitik hingga ia membawa kawannya turun juga ke bumi dan menyebabkan lapangan mulai berisi orang-orang yang sibuk mencari tempat berteduh. Terlihat tidak bagus gambarnya di layar. Lalu sejurus kemudian kamera menangkap sosok seorang laki-laki. Aku menyipitkan mata tanda memperhatikan lebih detail. Ya Tuhan, lagi-lagi dia! Mengapa selalu ada dia? Mengapa dia hadir dihidupku? Pasti karena ada dia, acaraku berntakan. Dia selalu membawa kesialan. Argh! Dia merusak semuanya, dan sekarang dia merusak acaraku. Lagipula buat apa orang itu hadir dalam acara itu? Hmm, tetapi itu hal yang sangat wajar berhubung pamflet telah disebar ke penjuru wilayah sekolahku. Tapi mengapa ia datang? Acaraku jadi berantakan. Oh kumohon pergi dan jangan rusak hariku lagi!

Semenjak sore kelabu di acara pentas seniku itu. Saat terakhir kali mataku menangkap sosoknya. Aku tak pernah bertemu dia lagi. Dia tak ada lagi di hidupku. Begitupun hari yang kurasa sial, tak ada lagi yang seperti itu. Aku tak mengenal dia. Aku tak tahu siapa namanya. Yang kuingat hanyalah nama ayahnya yang tertera di rumahnya malam itu, Dr. Atmajaya Danuarta. Setelah sekian lama, mama menceritakan sesuatu tentang pemuda itu. Sangat sedikit yang kudapat. Ternyata, dulu saat aku maish batita, mama sering membawaku ke sebuah taman di tengah komplek. Di sanalah pertama kalinya aku berinteraksi dengan anak yang kini beranjak dewasa itu. Setelah itu, mama juga tak tahu, kami tak pernah menemui anak itu lagi. Entahlah. Meskipun kami satu komplek, jarak antara blok kami lumayan jauh dan luas komplek yang terbilang luas itu menjadi kendala untuk saling bertemu. Aku tak pernah melihatnya lagi meski hanya sekedip. Aku berhasil melalui hari tanpa kesialan-kesialan itu lagi. Ya, ringan memang. Tapi, mengapa ada sebersit rasa hampa dihatiku? Mengapa terselip rasa itu? Entahlah.

***

Juni 2013
Wellington City, New Zealand

Di sinilah aku berada. Sudah sekitar kurang lebih 7 bulan aku menetap di sini. Selandia Baru. Di sinilah Aurellia yang baru. Seorang yang bukan lagi penakut akan hal dan orang baru. Di sini aku berdiri sendiri, tak bergantung orang tua. Ya, Aurellia tahun yang lalu sudah berganti dengan Aurellia yang hidup ceria. Aku berangkat menuju negara ini tepatnya bulan November 2012. Tahun angkatanku sudah tidak diberlakukan lagi Ujian Nasional. Aku sibuk mempersiapkan sekolahku di sini. Ini keinginan mama dan papa sejak dulu. Mereka sudah menyiapkan asuransi pendidikanku sejak aku kecil. Jadi, apa lagi yang ku tunggu? Lagipula memang aku berkeinginan besar untuk hidup mandiri di negeri orang. Perlu waktu beberapa bulan untuk menyesuaikan diri. Karena itu setelah survei pada beberapa bulan sebelumnya, aku berangkat 3 bulan sebelum masa orientasi ku di mulai. Di sini aku tinggal di salah satu flat yang tidak terlalu besar. Aku tinggal bersama 2 orang temanku yang lain. Mereka teman-teman yang baik. Kebetulan saja mereka sama-sama orang Indonesia. Papa pintar sekali mencari tempat tinggal untukku. Memudahkan aku untuk beradaptasi. Masa Orientasi telah kulalui. Sudah 4 bulan aku kuliah di Victoria University of Wellington. Di sana aku mengambil program Interior Design di Faculty of Architecture and Design.

Aku juga sudah mulai melupakan sosok pemuda misterius yang tiga tahun silam mengganggu pikiranku. Aku tak kenal dia, sungguh identitasnya sama sekali tidak jelas. Wajah blasteran dan mata birunya, mengapa terus terpikirkan tentangnya? Selama itu juga, tak ada orang lain yang menarik hatiku. Apa aku jatuh cinta? Pada pemuda itu? Pemuda misterius seperti dia? Buat apa? Belum tentu juga dia di sana memikirkan aku. Biarlah. Semua hanya tinggal kenangan. Lagipula, aku sudah tinggal nun jauh dari tempat dia berada. Lenyaplah sudah masa lalu itu.

***

"Rel, hari ini ada jadwal?" tanya Mbak Ara saat menikmati sarapan pagi. Mbak Ara lama tinggal di Wellington. Sekitar 5 tahun lalu dan sekarang sudah semester kedua program S2 di fakultas bahasa. Ia yang tertua di antara kami. Mbak Ara sudah seperti kakakku sendiri. Sosoknya sangat mengayomi aku dan Sheila. Aku yang sedang menikmati pankuk lezat buatan Mbak Ara kemudian menjawab, "Nggak ada tuh, mbak. Aku ikut mbak deh. Iseng nih kalo cuma menghabiskan waktu di flat."


"Gimana, mau nggak, Rel?" Aku mengangguk menyetujui tawaran Mbak Ara. Setelah bersiap dengan atasan casual plus jaket dan rok motif kupu-kupu cantik sebagai bawahan, aku menggandeng tangan Mbak Ara dengan semangat menuju halte bus. Hah, udara Wellington dingin! Meskipun bukan musim dingin. Tetap saja dingin bagiku yang biasa dengan cuaca tropis Indonesia. Hampir di setiap flat bahkan dilengkapi dengan penghangat ruangan.

Sampailah kita di gedung Von Zetlidz, Universitas Victoria. Universitas ini memang terbagi dari berbagai macam fakultas dan wajar saja memiliki gedung kampus yang tidak sedikit. Von Zetlidz inilah salah satu gedungnya. Kampus tempat Mbak Ara menerima mata kuliahnya di fakultas bahasa. Hari ini ada referensi buku di gedung itu. Kabarnya, buku itu diterbitkan seorang sastrawati Indonesia terkenal yang telah wafat. Buku itu dirilis kembali dengan beberapa penggubahan. Jadi tak heran banyak sekali warga Indonesia di sini. Mayoritasnya bahkan. Warga lokal mungkin hanya para pencari berita saja. Sebetulnya aku tak terlalu menyukai buku sastra, bahkan boleh dibilang tidak suka. Tapi kupikir daripada tak ada kerjaan di flat lebih baik aku ikut Mbak Ara. Siapa tahu ia sedang berbaik hati setelah ini mentraktirku makan di bistro. Lagipula, Sheila akan pulang larut hari ini. Ini kali pertama aku masuk ke gedung ini. Memang gedung ini tidak seluas gedung kampusku, tapi bagiku ini sangat luas berhubung aku tak biasa masuk ke gedung ini. Untung saja Mbak Ara mengajakku datang pagi-pagi sehingga sudah pasti kami mendapat kursi. “Mbak, aku ke toilet dulu ya,” kataku di sela-sela pembukaan. Aku berjalan dengan santai dan melupakan satu hal. O-oh, aku lupa menanyakan Mbak Ara toilet ada di sebelah mana. Baiklah akan kucoba mencari sendiri. Heran, gedung sebesar ini tidak ada petunjuk arah toilet-kah? Aku sudah lelah mencari. Baiklah, Aurel yang sekarang adalah yang pemberani.

“Excuse me! Can you show me where’s the toilet?” tanyaku penuh dengan sopan santun. Laki-laki berjaket sport abu-abu itu menoleh. Oh, dear! Mengapa jantungku berdegup begitu keras? Pria itu berdiam menatap wajahku sesaat kemudian hanya menunjuk pada satu arah tanpa mengeluarkan sepatah kata. Aku tak terlalu menangkap paras wajahnya akibat kaca mata berlensa cokelat yang dikenakannya. Apa ia bisu? Ah, tidak mungkin orang setampan itu bisu. Tapi tunggu, mengapa degupan jantung ini tak jua normal? Saat tadi ia menatap wajahku.. Oh dear, apa aku jatuh cinta? Ya! Mungkin aku jatuh cinta! Itu berarti, aku sudah benar-benar melupakan pemuda di masa lalu itu. Aku harus segera menceritakannya pada Mbak Ara.

***

Ketika kembali menyusul Mbak Ara, meja konferensi telah dikelilingi kerumunan orang banyak. Kudengar, ada seseorang sedang berbicara. Logatnya santai. Sepertinya menarik untuk didengarkan. Aku mencoba menyusup di kerumunan orang . Sulit sekali. Sesekali aku berjingkat untuk mencari celah dan melihat siapa yang berbicara sambil terus menyalip kerumunan. Sepertinya aku pernah melihat orang itu. Masih belum jelas. Ah, akhirnya aku dapat melihat Mbak Ara yang sedang tekun mencatat resume. Bola mataku menarik pandanganku pada seorang yang sedang berbicara di meja konferensi saat ia mengatakan, “My name is Rain. Rain Atmajaya Danuarta. Well, I’m so proud to attending…….” Hei, ada apa lagi ini? Jantungku kembali berdetak ratusan kali lipat dibandingkan sebelumnya. Aku mungkin mengenalnya. Ya, mungkin! Tunggu! Biar kuruntut. Siapa dia? Bola mataku lagi-lagi tergerak pada lekuk tangannya yang sedang asyik memainkan kacamatanya. Ah, kacamata itu! Lensa Cokelat! Sama seperti yang dikenakan pria tadi. Jaket sport itu… dan, nama itu…. Nama itu sepertinya tidak asing bagiku. Ada apa dengan nama itu? Apa aku pernah mengenalnya? Aku berdiri di barisan depan tapi mengapa wajahnya tetap samar? Jarak tempatku berdiri memang agak jauh dari tempatnya duduk. Aku memaksa otakku untuk mengingat sesuatu, apapun itu. Semua memori otakku berkelebat dan dengan cepat pula hilang. Aku terus menggerakkan tanganku. Memukul kepalaku keras-keras. Aku terus memaksa ingatan itu muncul. Oh dear, semua bayangan masa laluku berkelebat di depan mataku. Aku ingat!!

***

“Jadi dia itu anak Susanti Atmajaya, penulis sastra terkenal, Mbak?” tanyaku masih penasaran. Mbak Ara mengangguk. “Mbak tau lebih banyak tentang dia? Atau Mbak tau gimana cara untuk menghubungi dia?” Mbak Ara terdiam kemudian menjawab, “Mbak nggak tau, Rel. Kalo soal anaknya itu. Mbak aja baru tau kalo dia punya anak laki-laki yang seperti kemarin itu.”

“Kamu masih mau mengejar masa lalumu, Rel?” sela Sheila yang sedang menyesap cokelat hangat. “Entahlah.” Ya. Entahlah. Aku hanya ingin memastikan, apa dia masa laluku? Entah mengapa aku terseret ke dalam masa laluku. Dia memang bukan siapa-siapa. Tapi mungkin ia yang dulu singgah dihatiku. Kalau saat menuju toilet itu jantungku berdetak lebih cepat, kemudian saat referensi buku, aku merasakannya kembali.. Berarti itu artinya. Aku jatuh cinta pada orang yang sama dan itu pertanda aku belum melupakan… Rain Atmajaya. Apa benar dia? Masa laluku? Aku hanya terdiam menatap langit sore dari jendela besar flat. Satu tetes tanda sesak hatiku menitik menyentuh kulitku yang masih menghangat sejak kejadian kemarin.

***

Aku duduk melamun sendiri di kursi taman kampusku. Sekali lagi aku tak dapat menyingkirkan bayangnya dari pikiranku. Rain. Rain Atmajaya Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku sudah mengingatnya kembali. Memori tiga tahun silam telah kuingat. Atmajaya, nama yang kulihat tertera di rumahnya saat pertama kali ia menyerempetku. Rain, aku baru menyadari itu kau. Saat aku berteriak meminta hujan untuk berhenti, kau menoleh. Karena namamu, Rain. Rain, aku baru sadar akan selalu bertemu engkau saat hujan turun. Entah hujan yang mengikutimu, atau kau yang mengikutinya. Rain, aku masih ingat saat itu hujan semakin deras karena kau ada di dekatku. Rain, aku ingat saat mobilmu melesat keluar hujan mulai mereda. Aku ingat saat kecelakaan itu, hujan ada diantara kita. Rain, mengapa baru kusadari… Hujan adalah pertanda aku akan bertemu denganmu. Tapi mengapa setelah itu kau tak pernah muncul lagi setiap hujan datang? Aku mendongakkan wajah ke langit. Mendung. Tanda akan turun hujan. Akankah aku bertemu lagi denganmu, Rain? Mungkin tidak. Sudah kutekankan, dugaanku akan selalu salah, sama seperti tiga tahun silam. Karena kau pasti sudah kembali ke Jakarta sejak berhari-hari yang lalu. Gemuruh petir menemani awan yang sangat gelap itu. Aku rasa, aku harus segera beranjak. Hujan turun dan bertambah deras. Aku pun berlari hanya sambil berpayungkan folder anti air milikku. Aku berhenti untuk merapikan pakaianku saat tiba di teras gedung. Aku menoleh sekilas lalu kembali menoleh dan mempertegas pandanganku. Oh deaaaar! Apa aku tak salah lihat?? Itu Rain! Rain Atmajaya! Pria yang aku lihat tempo hari di acara referensi buku itu. Rain si pengacau masa laluku dulu. Rain yang begitu kurin… ya, harus ku akui. Aku merindukannya. Aku merindukan si pengacau hidupku itu. Aku merindukan kalimat, “Aku ini bertanggung jawab”. Oh, sungguh aku merindukan masa laluku. Tapi tunggu. Aku melihatnya tidak sendiri. Apa maksudmu, Rel? batinku bertanya-tanya. Ia bersama seorang gadis. Rain bersama gadis. Gadis Wellington yang cantik. Bahkan, jauh lebih cantik daripada aku. Ia berlalu begitu saja dari hadapanku. Mungkin dia lupa denganku. Mungkin. Dan gadis itu, adalah kekasihnya. Aurel, kau harus segera melupakannya.

***

Wajah asing perempuan manis itu terus membayangi hari-hariku. Berjalan bersama lelaki itu, Rain. Sudah sejak lamakah mereka bersama? Atau mungkin Rain datang bersekolah di sini untuk mengejar cintanya itu? Lalu aku? Aku justru ingin melupakan bayang-bayang dirinya di sini, tapi mengapa perasaan ini makin menguat? Salahkah aku selalu ingin bersamanya kini? Salahkah aku inginkan dirinya hadir saat ini? Salahkah aku jika dulu mengabaikannya? Dan kini, semua telah terjawab. Aku D.I.L.E.M.A! Lalu harus berbuat apa aku kini? Ia satu kota denganku, bahkan yang lebih buruknya ia satu fakultas denganku. Itu artinya, kami satu kampus! Oh, andaikan aku punya doraemon si robot kucing ajaib. Aku akan meminjam pintu ke mana saja. Lalu aku akan kembali ke masa lalu. Lalu…. Lalu apa, Rel? Apa yang akan kau lakukan?

“RAIN, PLEASE COME TO ME!!” ujarku lantang di sebuah padang rumput luas berhiaskan ilalang. Di sini tempatku melepaskan penat. Angin berhembus dan bunga ilalang pun turut menari bersamanya. “RAIN IS COMING! Aku di sini.” Suara dingin namun sejuk dan tak kalah lantang itu, aku mengenalnya. Aku memalingkan wajahku menatap sosok yang berdiri di belakang tubuhku tadi. Oh, Rain? Apa aku hanya bermimpi? Mataku membulat dan tanganku spontan menutup mulutku yang mulai menganga karena terkejut. “No. You’re not in a dream now or maybe, your dream has come true,” sosok itu meringis dan berkata seolah dapat membaca pikiranku. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku penuh keraguan. “Hey what did you shout? Bukankah kau yang memintaku untuk datang? Atau telingaku penuh dengan kotoran sehingga sudah tak bisa lagi mendengar dengan baik? Aku rasa, aku harus segera ke spesialis telinga,” candanya. “I think, New Zealand was give you a little sense of humor. Hahaha,” Aku tertawa. Ya! Aku tertawa setelah sekian lama dirundung kegundahan. Itu karena Rain. Hujan kemudian turun dengan derasnya. Aku berlari bermain bebas bersama hujan, ditemani Rain dan tawa riangnya. “Aku suka hujan!” ujarku saat hujan mulai berhenti. “Bukankah dulu kau benci hujan?” Rain bertanya dengan nada jahil. Aku meliriknya sesaat. “Tapi kurasa, pelangi lebih indah dibanding hujan,” sahutku tak kalah jahil sambil menatap pelangi yang terurai indah dihadapan kami yang sedang terduduk menyentuh rumput basah. “Oh ya? Tapi kenyataannya, pelangi yang kau bilang indah itu takkan ada tanpa hujan!” Rain tersenyum puas. “Aku lahir saat hujan turun dan ibuku menamai ku Rain, karena beliau pikir hujan adalah anugerah dan berkah untuknya yang kemudian berganti menjadi warna indah pelangi. Itulah harapan almarhum ibuku. Pelangi takkan ada tanpa cahaya dan hujan, kan? Kau lah cahayaku, Aurellia….” katanya diselingi senyum manis lalu ia melanjutkan, “…Lalu kini, aku benar menjadi anugerah untukmu, bukan?” Aku tak dapat menyanggahnya lagi. Hanya senyum simpul yang kubiarkan menghiasi wajahku yang basah karena hujan.

“RAIN, I’VE BEEN MISSED YOU!” dan hujan kembali menitik ringan mengiri canda kami. Aku menangkap kebahagiaan pada mata birunya saat melihat pelangi dan aku secara bergantian. :)

“Hey tunggu, aku terlupa satu hal. Lalu siapa gadis yang bersamamu saat di kampus itu?” tanyaku masih penasaran. “Jadi benar kau memperhatikanku juga. Aku telah mengenalimu sejak kau bertanya soal toilet, meskipun kacamatamu yang dulu telah berganti lensa kontak. Karena wajahmu terus kuingat sejak pertama kali kita bertemu, ya.. saat aku menabrakmu! Dan gadis itu adalah adikku dari pernikahan kedua ibuku. Karena orang tuaku sempat bercerai sebelum akhirnya ibuku meninggal. Ada apa? Kau cemburu?” godanya.
“Tentu saja tidak! Buat apa aku cemburu pada hujan?” sahutku sambil menyapu wajahku agar tak terlihat rona merah di pipiku. Ia hanya tertawa puas melihat diriku tertangkap salah tingkah.

The End
Makasih yang udah abca dari awal sampe akhir. Ini ada sedikit perubahan supaya lebih efektif.. Makasih yang udah kasih kritik dan saran. Mohon do'anya biar cerpennya dimuat yaaaa :)

No comments:

Post a Comment

what do you think?